Minggu, 16 Februari 2014

IDDAH



IDDAH[1]

            Pengertian iddah menurut bahasa adalah al-ihsha artinya perhitungan. Menurut istilah iddah adalah :
اسم لمدة تتربص فيها المراة لمعرفة براءة رحمها أو للتعبد أو لتفجعها على زوجها
Artinya : “ Nama bagi masa menunggu wanita untuk mengetahui bersih rahimnya atau untuk semata-mata ibadah atau karena kesedihannya atas suaminya “.
هي المدة حددها الشارع بعد الفرقة , يجب على المرأة لأنتظار فيها بدون زواج حتى تنقضى المدة
Artinya : “ Masa yang ditentukan syara’ setelah perceraian, wajib bagi wanita untuk menunggu tanpa boleh menikah sampai habis masa iddah “.
            Iddah sudah dikenal sejak zaman jahiliyah, setelah islam datang iddah  dijadikan sebagai suatu perkara yang wajib, karena banyak memiliki mashlahat bagi kaum muslimin dan muslimat.
            Wajib beriddah bagi wanita yang diceraikan setelah jima’ (melakukan hubungan suami istri) atau berpisah karena suaminya mati. Adapun yang belum dijima’ maka tidak ada iddahnya jika diceraikan, namun jika ia ditinggal mati suaminya maka ia tetap wajib beriddah yaitu 4 bulan 10 hari.
Macam-macam iddah bagi wanita :
1.      Iddah bagi wanita yang masih haid yang diceraikan suaminya adalah 3 kali suci, berdasarkan firman Allah SWT :
والمطلقات يتربصن بانفسهن ثلا ثة قروء
Artinya : “ Wanita-wanita yang dithalaq hendaknya menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “. (Q.S al-Baqarah 228).
Bagi wanita yang masih haid yang diceraikan suaminya pada saat suci (dalam keadaan tidak haid) baru habis masa iddanya apabila masuk masa haid yang  ketiga, dan jika diceraikan pada waktu haid, maka iddahnya habis setelah masuk masa haidnya yang ke-empat dari waktu perceraian.
2.      Iddah bagi wanita yang tidak lagi haid (menopause) yang diceraikan istrinya adalah tiga bulan, dan penghitungannya wajib dengan kalander Hijriyyah. Meskipun wanita yang tidak haid lagi menurut kebiasaan tidak hamil lagi, namun beriddah tetap wajib baginya, karena hikmah iddah selain untuk mengetahui bersihnya rahim juga untuk semata-mata beribadah kepada Allah atau yang disebut dengan ta’abbudi dalam rangka melaksanakan perintah Allah SWT.
3.      Bagi wanita yang belum haid juga iddahnya adalah tiga bulan. Wanita yang belum haid jika ia menikah lalu diceraikan suaminya maka iddahnya adalah tiga bulan sama dengan wanita yang tidak haid lagi.
4.      Iddah wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya, iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungan. Disebut sampai melahirkan kandungan bukan melahirkan anak, karena yang dilahirkan belum tentu anak, barangkali ia keguguran, maka disebutlah iddah wanita yang hamil sampai ia melahirkan kandungannya.
5.      Iddah yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Dalam menghitung masa iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dimulai dari hari meninggalnya sampai 4 bulan 10 hari. Dalam masa 4 bulan 10 hari tersebut si wanita tidak boleh menikah atau dilamar dengan bahasa yang jelas (sharih).
6.      Wanita yang diceraikan namun belum disetubuhi maka iddahnya tidak ada. Dan ia boleh menikah dengan laki-laki lain tanpa harus menunggu dalam waktu tertentu.Masa iddah hanya berlaku bagi wanita yang telah menikah sesuai ketentuan agama, memenuhi syarat dan rukun-rukunnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab fiqh. Dengan demikian tidak ada iddah bagi wanita yang melakukan zina, sekalipun ia hamil atau laki-laki selingkuhannya meninggal dunia.
7.      Wanita yang masih dalam iddah karena diceraikan suaminya kemudian dalam masa iddah itu suaminya meninggal dunia, maka iddahnya adalah mana yang lebih panjang. Misalnya seorang wanita diceraikan suaminya dalam keadaan hamil  satu bulan, setelah diceraikan suaminya meninggal dunia, maka iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungannya. Namun, jika istri diceraikan dalam keadaan hamil enam bulan, lalu suaminya meninggal dunia maka iddah wanita tersebut adalah 4 bulan 10 hari, karena itu waktu yang lebih panjang.
Selama dalam masa iddah disebabkan ditinggal mati oleh suaminya, maka wanita yang beriddah dilarang :
-         Bercelak
-         Memakai wangi-wangian
-         Memakai pakaian yang berwana “mencolok”
-         Mengantarkan jenazah
-         Menikah dengan laki-laki lain
-         Dilamar
-         Keluar rumah kecuali untuk keperluan yang semestinya.

Adapun diantara hikmah dari diwajibkannya beriddah bagi wanita adalah sebagai berikut :
-         Untuk mengetahui kosong atau bersihnya rahim seorang wanita sehingga jelas nasab yang ada didalam kandungan jika memang si wanita hamil.
-         Untuk melaksanakan perintah agama (ta’abbudi).
-         Untuk memberikan peluang bagi suami istri agar ruju’ (kembali) jika memang dapat bersatu  kembali dalam ketenangan dan kedamaian.

Bagi laki-laki tidak ada iddah melainkan dalam dua keadaan, meskipun istilah bukan iddah namun ada persamaan dengan iddah wanita, bahwa pada saat itu laki-laki itu tidak boleh menikah dengan wanita yang lain.
Asy-Syaikh ‘Ali Jum’ah (Mufthi Mesir Saat ini) menuliskan bahwa ada dua keadaan laki-laki harus menunggu tidak boleh menikah dengan wanita lain, yaitu :
1.      Jika ia menikah dengan empat wanita kemudian ia menceraikan salah satu diantara mereka, maka laki-laki tersebut tidak boleh menikah dengan wanita lain sebelum habis iddah istri yang ia ceraikan tersebut.
2.      Jika laki-laki memiliki empat orang istri, ia menceraikan salah satu dari mereka agar ia menikah dengan saudari istrinya yang telah ia ceraikan, maka ia harus menunggu iddah istrinya tersebut. Jika sudah selesai baru ia boleh menikah dengan saudari bekas istrinya.
Ahli fiqh mengistilahkan hal ini dengan  muddah at-tarabbus.

والله تعالى اعلم



[1]Makalah ini disampaikan oleh Al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy padaMajlis Ta’lim miftahul khair halaqah Mahasiswa PAI Univa Medan pada tanggal 4 Shafar 1435 H bertepatan tanggal  5 Februari  2014 di Masjid Nurul Hidayah  Jl Garu II A. Makalah ini ditulis dari kitab :
-          Al-Muhadzdzab lil imam Abu Ishaq al-Syirazi oleh al-Imam Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf bin ‘Abdullah al-Syirazi.
-          Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati al-Fadz al-Minhaj (Juz 5) , oleh asy-Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syyirbini.
-          Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu (Juz 9), oleh asy-Syaikh Prof Dr Wahbaz az-Zuhaily.

NB : Jika ada yang kurang jelas dapat ditanyakan dinomor : 083198940194

Tidak ada komentar:

Posting Komentar