Senin, 07 April 2014

WAJIBKAH MENGANGKAT / MEMILIH PEMIMPIN?

WAJIBKAH MENGANGKAT / MEMILIH
PEMIMPIN?

            Tinggal hitungan hari saja kita akan menghadapi  pemilihan pemimpin tingkat DPR / DPRD. Dalam setiap pemilihan calon pemimpin di Indonesia, masih banyak umat Islam yang menyia-nyiakan suaranya, sehingga menyebabkan tidak sedikit calon pemimpin Islam yang kalah dalam pertarungan. Padahal, mengangkat pemimpin dalam Islam diperintahkan, baik dalam al-Qur’an maupun Hadits. Dalam Surat an-Nisa 59 disebutkan bahwa orang-orang mu’min diperintahkan untuk patuh kepada Allah, Rasul, dan penguasa mereka. Perintah patuh ini menunjukkan wajib, jadi untuk melaksanakan perintah wajib ini maka wajib pula memilih pemimpin.
            Dalam Hadits riwayat Abu Dawud diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda : Idza kuntum Tsalasah fi safarin yu’ammiru ahadahum (jika ada tiga orang dalam perjalanan, hendaklah mereka mengangkat pemimpin salah satu diantara mereka). Dalam perjalanan saja diperintahkan untuk mengangkat pemimpin, apalagi dalam bermasyarakat dan bernegara, tuntutan perintah mengangkat pemimpin, tentunya lebih besar lagi. Oleh karena itu, para sahabat dan tabi’in ijma’ (sepakat) atas wajibnya mengangkat imam atau pemimpin. Kenyataan sosial juga menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup harmonis tanpa adanya pemimpin yang sah yang mengatur pergaulan mereka.
            Tentang wajibnya mengangkat pemimpin, para Ulama’ dari masa kemasa sepakat. Di antaranya al-Imam al-Baghdadi (Wafat 429 H) berkata : “ sesungguhnya mengangkat imam adalah satu fardhu yang wajib. Al-Imam al-Mawardi (W.450 H) berkata : “ kepemimpinan dibuat untuk menggantikan Nabi dalam menjaga agama dan mengatur dunia dan mengakadkannya kepada orang yang melaksanakannya (tugas Nabi) ditengah umat wajib secara ijma’. Ibn Kaldun ( W. 708 H) berkata : “ sesungguhnya mengangkat imam adalah wajib yang diketahui dalam syara’ dengan ijma’ sahabat dan tabi’in”.
            Adapun yang menjadi dalil wajibnya mengangkat atau memilih pemimpin berdasarkan Q.S al-Maidah ayat 51, Q.S al-Maidah 57, dan Q.S an-Nisa 144.  Ketentuan wajibnya mengangkat pemimpin dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam ayat-ayat diatas berlaku untuk seluruh umat Islam kapan dan dimana saja mereka berada. Ketentuan ini berlaku ketika mereka berada dinegri Islam maupun di negeri sekuler seperti Indonesia.
            Keterangan ini sejalan dengan Qaidah Fiqh, mala yudraku kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan secara seluruhnya). Maksudnya, suatu perintah dalam agama yang oleh karena kondisi tertentu belum dapat ditunaikan secara utuh, menunaikan sebagai perintah yang dapat dilaksanakan tetap wajib. Karena itu umat Islam yang berada dalam negara sekuler dan tidak menerapkan dan menetapkan undang-undang syariah tetap wajib memilih pemimpin, jika pemimpin sekaliber khalifah yang empat tidak ada, maka minimalnya pun jadilah. Jangan karena tidak ada pemimpin yang sekaliber para Khalifah yang empat, lantas kita tidak melaksanakan kewajiban kita untuk memilih pemimpin. Itulah yang dimaksudkan dengan Qaidah di atas. Walallahu Musta’an.

Minggu, 06 April 2014

HUKUM DONOR DARAH



HUKUM DONOR DARAH[1]

            Kata donor dalam Kamus Bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin yang artinya menyumbangkan. Dengan demikian donor darah berarti menyumbangkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk mengobati dan menyelamatkan jiwanya.
            Banyak sekali masyarakat yang ragu atas boleh dan tidaknya donor darah itu karena mereka meyakini bahwa darah itu hukumnya najis. Apakah darah yang najis itu boleh disumbangkan? Dan apakah darah seorang muslim boleh disumbangkan untuk menolong jiwa orang nonmuslim (kafir)? Atau sebaliknya, apakah boleh seorang muslim menerima donor darah dari orang non muslim?
            Para Ulama’ sepakat bahwa darah itu hukumnya adalah najis. Hal ini sesuai dengan Firman Allah ta’ala dalam al-Qur’an :
حرمت عليكم الميتةوالدم ...
            Artinya : “ Diharamkan bagimu memakan bangkai , darah....”  (Q.S al-Maidah 3).
            Maksud ayat ini dijelaskan didalam Surat al-An’am ayat 145 sebagaimana yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawiy bahwa yang termasuk najis itu ada dua puluh macam, antara lain beliau berkata :
السابع عشر : دم .
            Artinya : “ Najis yang ketujuh belas adalah darah[2] “.
            Sekalipun darah itu najis, namun jika keadaan darurat (terpaksa) menyebabkan kita harus mempergunakan darah untuk mengobati dan menolong jiwa orang yang sedang sakit, maka hukumnya mubah (boleh), bila tidak ada obat lain yang halal yang dapat menggantikan darah itu.
            Asy-Syaikh Hasanin Muhammad Makhluf (Mantan Mufthi Negara Mesir) telah berfatwa sebagai berikut :
                 الدم المسفوح وان كان محرما شرعا بنص القرآن الا ان الضرورة الملجئة الى التداوى به تبيح الأنتفاع به في العلاج ونقله من شخص لأخرمتى قررذلك طبيب متدين حاذق .  وقدذهب جمع من الفقهاء الى جواز التداوى بالحرم والنجس ......  الخ                                               
            Artinya : “ darah yang mengalir sekalipun hukumnya haram menurut syara’ berdasarkan nash al-Qur’an, maka jika dalam keadaan sangat terpaksa harus berobat dengannya, maka hukumnya boleh dalam menggunakannya dalam hal pengobatan dan menyumbangkannny dari seseorang kepada orang lain, jika hal itu sudah menjadi ketetapan seorang dokter yang beragama lagi mahir. Segolongan fuqaha berpendapat , boleh hukumnya berobat dengan benda yang diharamkan dan najis, jika tidak didapatkan penggantinya dari benda yang tidak diharamkan dan suci. Dengan demikian, jika seorang dokter muslim yang mahir berpendapat bahwa selamatnya jiwa seorang yang sedang sakit itu bergantung pada sumbangan darah dari orang lain, maka hukumnya boleh berobat dengannya menurut syara’. Darurat itu dapat membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam Q.S al-Hajj ayat 78[3] “.
            Mengenai hal ini , Allah Ta’ala berfirman :
فمن اضطر غير باغ ولاعاد فلا اثم عليه
            Artinya : “ Maka barangsiapa dalam ke-adaan terpaksa, ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampui batas, maka tidak ada dosa baginya “ (Q.S al-Baqarah 173).
            Dalam Qaidah Ushul Fiqh disebutkan :
الضرورات تبيح المحظورات
            Artinya : “ Darurat itu dapat membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan[4] “.
            Dengan demikian Islam tidak melarang seorang muslim menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusian, asalkan bukan untuk tujuan komersial, baik darahnya itu disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukan tranfusi darah ataupun diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) dan Bank Darah.
            Penerima sumbangan darah tidak disyaratkan harus orang yang seagama. Dengan kata lain, boleh saja seorang muslim menyumbangkan darahnya kepada orang nonmuslim, sebab menyumbangkan darah dengan ikhlas itu termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan oleh Islam karena dapat menyelamatkan jiwa manusia. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an :
ومن احياها فكأنمآاحياالناس جميعا ...
            Artinya : “ Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah – olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya “ (Q.S al-Maidah : 32).
            Disamping itu, menyumbangkan darah kepada orang lain yang sangat memerlukannya sekalipun penerima berbeda agama dengan yang menyumbangkannya, termasuk memuliakan harkat dan martabat manusia. Hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an :
ولقد كرمنا بني ادم ...
            Artinya : “ dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam “ (Q.S al-Isra’ : 70).
            Berdasarkan ayat diatas, maka sudah seharusnya manusia bisa saling tolong menolong dan saling hormat menghormati antara sesamanya. Dalam masalah ini yang kita pandang bukan dari segi agama dan kepercayaan, tetapi segi kemanusiaannya. Begitu juga sebaliknya, boleh hukumnya seorang muslim menerima sumbangan darah dari orang yang nonmuslim-misalnya Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain, karena tidak terdapat dalil yang melarangnya.
            Pendapat ini sesuai dengan fatwa Fuqaha Muta-akhkhirin asy-Syaikh Dr. Ahmad asy-Syarabashi, beliau berkata :
وقد أباح الفقهاء المتأخرون نقل الدم الى المريض اوالريح اذاتوقف انقاذ حياته على هذاالدم حتى ولو كان الدم منقولا من غير المسلم
            Artinya : “ para fuqaha muta-akhkhirin sungguh telah membolehkan menyumbangkan darah kepada orang sakit atau orang yang terluka, jika bisa diselamatkannya hidup orang tersebut tergantung atas adanya sumbangan darah ini, sekalupun hasil darahnya itu merupakan sumbangan dari orang yang bukan Islam[5] “.
            Adapun yang dijadikan dasar landasan oleh para Ulama’ Fuqaha atas bolehnya seorang muslim menerima sumbangan darah dari orang lain sekalipun orang itu bukan beragama Islam, ialah Qaidah Ushul Fiqh yang berbunyi :
الأصل في الأشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
            Artinya : “ hukum asal segala sesuatu itu dibolehkan, sampai adanya dalil yang menunjukkan atas keharamannya “.
            Pada kenyataannya tidak ada satu ayat pun dan satu Hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sharih melarang menerima donor darah dari orang yag bukan beragama Islam.          Namun demikian, perlu saya ingatkan bahwa untuk memporel mashlahat dan menghindari mafsadat (bahaya), baik bagi penyumbang darah maupun penerima sumbangan darah, tentu saja transfusi darah itu dilakukan setelah melakukan pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan kedua-duanya, terutama kesehatan pendonor harus benar-benar bebas dari penyakit menular, misalnya penyakit AIDS dan lain-lain.

والله أعلم


[1]Makalah ini disampaikan oleh Al-Faqir Ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy  pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 4 Jumadil Akhir 1435 H bertepatan tanggal 5 April 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A. 
[2] Asy-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawiy, Syarhu as-Safinah, h. 43.
[3] Asy-Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, Fatawa Syar’iyyah wa Buhuts Islamiyyah, Juz II, h. 218.
[4] Asy-Syaikh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h.208.
[5] asy-Syaikh Dr. Ahmad asy-Syarabashi, Yas-Alunaka fi ad-Din wa al-Hayat, Juz I, h.607.

Rabu, 02 April 2014

ZINA DAN ANAK ZINA



ZINA DAN ANAK ZINA[1]

A.    Zina
            Di era Globalisasi seperti saat ini, segala sesuatu dapat dengan mudah di akses, dengan kemudahan tersebut segala sesuatu yang bersifat negatif pun sangat mudah di dapatkan. Seperti mudahnya sesuatu yang berbau fornografi dan lain sebagainya, sehingga dengan mudahnya sesuatu yang berbau fornografi didapatkan, memicu perzinahan terjadi dimana-mana, tua dan muda tidak pandang bulu, mereka bersuka riya melakukan perzinahan disembarang tempat yang mereka sukai. Ironis memang jika dilihat keadaan putra-putri bangsa ini, akhlaq dan moral mereka rusak dengan sebab perzinahan dan pergaulan bebas.
            Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :
ولاتقربواالزنى انه فحشة وسآ سبيلا
            Artinya : “ janganlah kamu mendekati (apalagi berbuat) zina, itu adalah perbuatan keji yang mengakibatkan atau mengundang kemarahan Allah, dan sebagai jalan yang paling buruk “ (Q.S al-Isra’ 32).
            Berlindunglah dari perbuatan zina, karena mengakibatkan tertimpa enam bahaya, tiga penderiataan dirasakan didunia, dan tiga lainnya di akhirat, yaitu :
a.       Penderitaan didunia
1.      Kuragnya rezeki (tidak pernah cukup)
2.      Jauh dari perbuatan baik (kebajikan)
3.      Dibenci dan dijauhi banyak orang (masyarakat)
b.      Siksa di akhirat
1.      Mendapat murka Allah
2.      Sangat berat dalam hisab
3.      Dimasukkan kedalam neraka, yakni api yang sangat besar, disebutkan dalam Hadits sebagai berikut :”bahwasanya apinya itu sepertujuh puluh bagian dari api jahannam.
Pernah Nabi saw minta diterangkan sifat-sifat neraka, Malaikat Jibril menjelaskan : ya Muhammad, api neraka adalah hitam gelap, seandainya jatuh ke bumi sebesar lobang jarum, pasti bumi akan terbakar seluruhnya, dan seandainya pakaian penghuni neraka ditanggalkan di antara langit dan bumi, pasti seluruh penduduk dunia binasa (mati) akibat baunya, dan seandainya apabila setetes zaqum diletakkan diatas bumi, pasti semua makanan penduduk dunia menjadi rusak karenanya. Dan seandainya seorang malaikat (dari yang 19 malaikat) turun ke bumi, pasti masyarkat dunia menjadi binasa seluruhnya, karena melihat bentuk yang sangat buruk, lalu Nabi saw bersabda : sudah cukup Jibril dan beliau menangis bersama Jibril. Selanjutnya beliau bersabda : “ hai Jibril kenapa engkau menangis, padahal engkau sangat dekat dengan Allah? Jawabnya : “ ya Muhammad, sekalipun aku dekat dengan Allah, tapi apa yang dapat menjamin aku selamat darinya? Begitulah karena takutnya Jibril kepada Allah, sekalipun Jibril berkedudukan tinggi disisi Allah, tetap ia menangis. Lalu kenapa orang yang banyak berbuat maksiat tidak dapat menangis? Oleh sebab itu janganlah kita mudah ditipu oleh hidup, kekuasaan atau kekuatan dan kesehatan kita, ketahuilah bahwa dunia ini akan lenyap tapi siksanya kekal dan sangat pedih, hati-hatilah jangan sampai berbuat zina, yang mengakibatkan atau mengundang murka Allah[2].
Diriwayatkan : “ sesuangguhnya Musa a.s berkata : ya Tuhan, apa balasan bagi penzina ? Allah Ta’ala berfirman : ialah Aku akan memberi rompi dari api, bila rompi itu diletakkan digunung yang tinggi pasti akan meletus dan menjadi abu “.
Al-Qadhi al-Imam rh berkata : aku pernah mendengar Masyayikh berkata : “ setiap wanita ada satu setan dan setan setiap anak remaja terdapat 18 setan, barangsiapa yang mencium anak remaja dengan syahwat, Allah Ta’ala akan menyiksa di neraka 500 tahun[3]. Dan barang siapa yang mencium wanita dengan syahwat deolah-olah dia berzina dengan 70 perawan, dan barangsiapa yang berzina dengan perawan, maka ibaratnya sudah berzina dengan 70.000 janda[4].

B.     Anak Zina
Anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa juga diebut dengan anak tidak sah. Karena dilahirkan diluar perkawinan yang sah atau disebut dengan anak haram, karena perbuatan zina yang dilakukan oleh orang yang menyebabkan kelahirannya adalah perbuatan keji yang diharamkan oleh syara’.
Kedudukan hukum bagi anak zina tidak bernasab kepada laki-laki yang melakukan zina terhadap ibunya. Ia tidak mengikuti nasab laki-laki yang memiliki sperma yang menyebabkan kelahirannya, tetapi nasabnya mengikuti kepada ibu yang melahirkannya. Maka hal ini juga berakibat pula hilangnya kewajiban / tanggung jawab ayah kepada anaak dan hilangnya hak anak kepada ayah. Antara keduanya seperti orang lain (anjabiy).
Secara nyata akibat yang diterima anak adalah :
1.      Hilangnya martabat mahram dalam keluarga, bila anak itu wanita antara bapak (pemilih sperma) dengan anak itu dibolehkan menikah. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat : dibolehkan bagi seseorang menikahi putrinya (anak zina), saudara perempuannya, cucu perempuannya, keponakan perempuannya yang semua itu dari hasil zina[5].
2.      Ketika si anak (anak zina) ingin menikah, ayahnya tersebut tidak bisa menjadi wali dari anak tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan bahwa anak zina hanya bernasab kepada ibunya, sedangkan wali dalam perkawikan disyaratkan harus laki-laki menurut al-Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Oleh karena itu, Shultan lah (kepala KUA) yang menjadi walinya, karena berdasarkan Hadits Nabi saw, Shulthan (penguasa) adalah wali bagi yang tidak ada wali (H.R Tirmidzi dari ‘Aisyah)[6].
Mengenai wanita tidak sah menjadi wali dan mewakilkan dirinya sendiri, juga berdasarkan Hadits Daruqythni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda :
“ Tidak sah wanita menikahkan wanita lain dan tidak sah pula menikahkan dirinya, karena hanya wanita yang berzinalah yang menikahkan dirinya[7]
3.      Hilangnya kewarisan anak dengan bapaknya, hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak zina dengan ayah (laki-laki yang membuahinya), karena anak zina tidak mempunyai hubungan nasab dengannya, menurut Jumhur Ulama’ anak zina mempunyai hubungan kewarisan dengan ibu dan kerabat ibunya saja. Dengan demikian ia hanya dapat menjadi ahli waris dari ibu dan kerabat seibu, tidak dari neneknya, karena anak zina bagi si nenek adalah anak dari anak perempuannya, dan menurut Jumhur Ulama’ anak dari perempuan itu bukan ahli waris.

والله اعلم


[1] Makalah ini disampaikan oleh Al-Faqir Ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy  pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 28 Jumadil Awwal 1435 H bertepatan tanggal 29 Maret 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.

[2] Al-Imam Abi Laits Nashir bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Faqih al-Samarqandi al-Hanafi, Tanbihu al-Ghafilin, Dar al-Fikr, Beirut , Lebanon, 2009, h.174-175.
[3] 1 hari di akhirat sama dengan 1000 tahun di dunia.
[4] Al-Hujjatul Islam al-Imam Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid ath-Thusi al-Ghazali, Mukasyafatu al-Qulub, Terbit Terang, Surabaya , h. 130-131.
[5] Al-Imam Muhammad Jawad al-Mughniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah al-Madzahib al-Khamsh, Dar al-Islami li al-Malayin, Beirut, 1964, h.79.
[6] Al-Imam al-Suyuthi, al-Jami’ al-Syaghir, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Juz I, h. 119.
[7]  Al-Imam al-Saukani, Nail al-Authar, Musthafa al-Babiy al-Halabiy wa Awladuh, Mesir, Juz IV.