Minggu, 06 April 2014

HUKUM DONOR DARAH



HUKUM DONOR DARAH[1]

            Kata donor dalam Kamus Bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin yang artinya menyumbangkan. Dengan demikian donor darah berarti menyumbangkan darah dari seseorang kepada orang lain untuk mengobati dan menyelamatkan jiwanya.
            Banyak sekali masyarakat yang ragu atas boleh dan tidaknya donor darah itu karena mereka meyakini bahwa darah itu hukumnya najis. Apakah darah yang najis itu boleh disumbangkan? Dan apakah darah seorang muslim boleh disumbangkan untuk menolong jiwa orang nonmuslim (kafir)? Atau sebaliknya, apakah boleh seorang muslim menerima donor darah dari orang non muslim?
            Para Ulama’ sepakat bahwa darah itu hukumnya adalah najis. Hal ini sesuai dengan Firman Allah ta’ala dalam al-Qur’an :
حرمت عليكم الميتةوالدم ...
            Artinya : “ Diharamkan bagimu memakan bangkai , darah....”  (Q.S al-Maidah 3).
            Maksud ayat ini dijelaskan didalam Surat al-An’am ayat 145 sebagaimana yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawiy bahwa yang termasuk najis itu ada dua puluh macam, antara lain beliau berkata :
السابع عشر : دم .
            Artinya : “ Najis yang ketujuh belas adalah darah[2] “.
            Sekalipun darah itu najis, namun jika keadaan darurat (terpaksa) menyebabkan kita harus mempergunakan darah untuk mengobati dan menolong jiwa orang yang sedang sakit, maka hukumnya mubah (boleh), bila tidak ada obat lain yang halal yang dapat menggantikan darah itu.
            Asy-Syaikh Hasanin Muhammad Makhluf (Mantan Mufthi Negara Mesir) telah berfatwa sebagai berikut :
                 الدم المسفوح وان كان محرما شرعا بنص القرآن الا ان الضرورة الملجئة الى التداوى به تبيح الأنتفاع به في العلاج ونقله من شخص لأخرمتى قررذلك طبيب متدين حاذق .  وقدذهب جمع من الفقهاء الى جواز التداوى بالحرم والنجس ......  الخ                                               
            Artinya : “ darah yang mengalir sekalipun hukumnya haram menurut syara’ berdasarkan nash al-Qur’an, maka jika dalam keadaan sangat terpaksa harus berobat dengannya, maka hukumnya boleh dalam menggunakannya dalam hal pengobatan dan menyumbangkannny dari seseorang kepada orang lain, jika hal itu sudah menjadi ketetapan seorang dokter yang beragama lagi mahir. Segolongan fuqaha berpendapat , boleh hukumnya berobat dengan benda yang diharamkan dan najis, jika tidak didapatkan penggantinya dari benda yang tidak diharamkan dan suci. Dengan demikian, jika seorang dokter muslim yang mahir berpendapat bahwa selamatnya jiwa seorang yang sedang sakit itu bergantung pada sumbangan darah dari orang lain, maka hukumnya boleh berobat dengannya menurut syara’. Darurat itu dapat membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan sebagaimana Firman Allah Ta’ala dalam Q.S al-Hajj ayat 78[3] “.
            Mengenai hal ini , Allah Ta’ala berfirman :
فمن اضطر غير باغ ولاعاد فلا اثم عليه
            Artinya : “ Maka barangsiapa dalam ke-adaan terpaksa, ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampui batas, maka tidak ada dosa baginya “ (Q.S al-Baqarah 173).
            Dalam Qaidah Ushul Fiqh disebutkan :
الضرورات تبيح المحظورات
            Artinya : “ Darurat itu dapat membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan[4] “.
            Dengan demikian Islam tidak melarang seorang muslim menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusian, asalkan bukan untuk tujuan komersial, baik darahnya itu disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukan tranfusi darah ataupun diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI) dan Bank Darah.
            Penerima sumbangan darah tidak disyaratkan harus orang yang seagama. Dengan kata lain, boleh saja seorang muslim menyumbangkan darahnya kepada orang nonmuslim, sebab menyumbangkan darah dengan ikhlas itu termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan oleh Islam karena dapat menyelamatkan jiwa manusia. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an :
ومن احياها فكأنمآاحياالناس جميعا ...
            Artinya : “ Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah – olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya “ (Q.S al-Maidah : 32).
            Disamping itu, menyumbangkan darah kepada orang lain yang sangat memerlukannya sekalipun penerima berbeda agama dengan yang menyumbangkannya, termasuk memuliakan harkat dan martabat manusia. Hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an :
ولقد كرمنا بني ادم ...
            Artinya : “ dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam “ (Q.S al-Isra’ : 70).
            Berdasarkan ayat diatas, maka sudah seharusnya manusia bisa saling tolong menolong dan saling hormat menghormati antara sesamanya. Dalam masalah ini yang kita pandang bukan dari segi agama dan kepercayaan, tetapi segi kemanusiaannya. Begitu juga sebaliknya, boleh hukumnya seorang muslim menerima sumbangan darah dari orang yang nonmuslim-misalnya Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain, karena tidak terdapat dalil yang melarangnya.
            Pendapat ini sesuai dengan fatwa Fuqaha Muta-akhkhirin asy-Syaikh Dr. Ahmad asy-Syarabashi, beliau berkata :
وقد أباح الفقهاء المتأخرون نقل الدم الى المريض اوالريح اذاتوقف انقاذ حياته على هذاالدم حتى ولو كان الدم منقولا من غير المسلم
            Artinya : “ para fuqaha muta-akhkhirin sungguh telah membolehkan menyumbangkan darah kepada orang sakit atau orang yang terluka, jika bisa diselamatkannya hidup orang tersebut tergantung atas adanya sumbangan darah ini, sekalupun hasil darahnya itu merupakan sumbangan dari orang yang bukan Islam[5] “.
            Adapun yang dijadikan dasar landasan oleh para Ulama’ Fuqaha atas bolehnya seorang muslim menerima sumbangan darah dari orang lain sekalipun orang itu bukan beragama Islam, ialah Qaidah Ushul Fiqh yang berbunyi :
الأصل في الأشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
            Artinya : “ hukum asal segala sesuatu itu dibolehkan, sampai adanya dalil yang menunjukkan atas keharamannya “.
            Pada kenyataannya tidak ada satu ayat pun dan satu Hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sharih melarang menerima donor darah dari orang yag bukan beragama Islam.          Namun demikian, perlu saya ingatkan bahwa untuk memporel mashlahat dan menghindari mafsadat (bahaya), baik bagi penyumbang darah maupun penerima sumbangan darah, tentu saja transfusi darah itu dilakukan setelah melakukan pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan kedua-duanya, terutama kesehatan pendonor harus benar-benar bebas dari penyakit menular, misalnya penyakit AIDS dan lain-lain.

والله أعلم


[1]Makalah ini disampaikan oleh Al-Faqir Ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy  pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 4 Jumadil Akhir 1435 H bertepatan tanggal 5 April 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A. 
[2] Asy-Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawiy, Syarhu as-Safinah, h. 43.
[3] Asy-Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, Fatawa Syar’iyyah wa Buhuts Islamiyyah, Juz II, h. 218.
[4] Asy-Syaikh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, h.208.
[5] asy-Syaikh Dr. Ahmad asy-Syarabashi, Yas-Alunaka fi ad-Din wa al-Hayat, Juz I, h.607.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar