Senin, 23 Juni 2014

ZIARAH KUBUR, HUKUM , TATA CARA, HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN DAN DILARANG DALAM BERZIARAH



ZIARAH KUBUR, HUKUM , TATA CARA, HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN DAN DILARANG DALAM BERZIARAH

Tulisan ini boleh dishare.....
Bismillahir-Rahmanir-Rahim.
            Sudah menjadi tradisi ditengah-tengah masyarakat Muslim Indonesia setiap menjelang bulan Ramadhan, masyarakat Muslim disibukkan dengan ziarah kubur. Akan tetapi sangat disayangkan sekali, ada sebahagian kecil dari golongan Umat Islam yang mengharamkan ziarah kubur, bahkan mereka menuduh pelaku ziarah kubur sebagai penyembah kuburan (Quburiyyin) yang lebih parah lagi ada sebahagian dari mereka yang menuduh musyrik bagi para pelaku ziarah kubur. Benarkah pernyataan tersebut? Maka pada kesempatan kali ini atas izin Allah Ta’ala al-faqir mencoba membuat suatu tulisan atau artikel untuk menjawab permasalahan tersebut. Sebelumnya bagi para pembaca al-faqir minta untuk bershalat kepada baginda Nabi saw : “Allahumma Shalli ‘ala syaidina Muhammad, wa ‘ala alihi syaidina Muhammad”.
A.    Hadits-Hadits Tentang Ziarah Kubur
Mengenai Hadits-Hadits tentang ziarah kubur sangat banyak sekali, namun al-faqir hanya mencantumkan beberapa Hadits saya , dan al-faqir tidak menulis matannya namun hanya terjemahannya saja, agar tulisan ini tidak terlalu panjang. Karena al-faqir tahu bahwa sedikit sekali orang yang suka membaca. Adapun Hadits-Hadits mengenai ziarah kubur diantaranya :
1.      Hadits Buraidah r.a , riwayat Imam Muslim, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Hakim dan Turmudzi :
Artinya : “ Sungguh aku telah melarang kalian ziarah kubur, dan sekarang ttelah diizinkan oleh Muhammad untuk berziarah kubur ibunya, maka ziarahlah kalian kekubur, karena ziarah kubur itu dapat mengingatkan kepada akhirat “. (Lihat kitab Shahih Muslim, Hadits ke : 1623. Sunan an-Nasa’i, Hadits ke : 2005-2006. Sunan Abu dawud, Hadits ke : 2816/3312. Musnah Ahmad ibn Hanbal, Hadits ke : 21880/21925).
2.      Hadits Abu Hurairah r.a, riwayat Imam Muslim, Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad :
Artinya : “Abu Hurairah r.a berkata , Rasulullah saw ziarah kubur ibunya, kemudian menangis dan tangisnya menangiskan orang-orang disekitarnya, lalu bersabda : aku mohon izin Tuhanku agar mengampuninya, dan Dia tidak memberikan izin kepadaku, dan aku mohon izin untuk berziarah ke kubur ibunya, dna aku diizinkan, maka berziarahlah kamu karena berziarah itu dapat mengingatkan mati “. ( Lihat kitab Shahih Muslim,Hadits ke : 1622. Sunan an-Nasa’i, Hadits ke : 2007. Sunan Abu Dawud, Hadits ke : 2815. Sunan Ibnu Majah, Hadits ke : 1558,1561 dan Musnah Ahmad ibn Hanbal, Hadits ke : 9311).
            Sebenarnya ada delapan Hadits lagi yang menceritakan tentang ke bolehan ziarah kubur. Akan tetapi kedua Hadits tersebut diatas al-faqir anggap sudah cukup untuk mewakilkan delapan Hadits lainnya.

B.     Hukum Ziarah Kubur
Mengenai hukum ziarah kubur ini terbagi kepada dua pembagaian, yaitu hukum ziarah kubur bagi laki-laki dan hukum ziarah kubur bagi perempuan.
1.      Hukum ziarah kubur bagi laki-laki
Hukum ziarah kubur bagi laki-laki menurut jumhur Ulama’ adalah sunnah, disyariatkan oleh agama.Bahkan menurut al-Imam ibnu Hazmin karena ada perintah dari Rasulullah dengan lafadz “fazuuruha” maka hukum ziarah kubur adalah wajib, sekalipun hanya sekali dalam seumur hidupnya (Lihat kitab Fathul Bary).
Untuk lebih jelasnya al-faqir akan mengemukakan pendapat sebagian Ulama’ Salaf maupun Khalaf mengenai hal ini :
a)       Menurut al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalany didalam kitabnya Fathul Bary mengatakan bahwa : “ bab ziarah kubur, maksudnya adalah bahwa ziarah kubur itu disyariatkan....”.
b)      Menuru al-Imam Abil ‘Ula al-Mubarakfury didalam kitabnya Tuhfatul al-Ahwadzi bi-Syarah Jami’ at-Turmudzi mengatakan : “Sabda Nabi saw, Allah telah mengizinkan kepada Muhammad untuk menziarahi ibunya, hal ini menunjukkan atas dibolehkannya ziarah kubur keluarga yang tidak mengenal Islam, sabda Faruzuuha menunjukkan perintah, berupa rukhsah (kemurahan) atau istihbab (disunnahkan), yang demikian inilah pendapat jumhur (sebagian besar) Ulama’, bahkan sebagian mereka mengatakan telah disepakati Ulama’. Sementara Ibnu Abdil Bar berpendapat hukumnya wajib, demikian sebagaimana keterangan dari kitab Al-Mirqoh”.
c)       Menurut al-Imam an-Nawawi didalam kitabnya al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab mengatakan bahwa : “ adapun hukum ziarah kubur, maka telah sepakat nash-nash imam Syafi’i dan para pengikut (ashhab)nya bahwa ziarah kubur disunnahkan bagi laki-laki, ini adalah pendapat seluruh Ulama’, bahkan al-Imam al-Abdari menyebutnya sebagai sebagai telah disepakati (ijma’) Ulama’ “.

2.      Hukum ziarah kubur bagi perempuan.
Berbeda dengan laki-laki, hukum ziarah kubur bagi perempuan ada perbedaan pendapat yang sedikit tajam antara para Ulama’. Diantara pendapat tersebut ada yang mengatakan :
a). Haram
karena perempuan yang ziarah akan mendapat laknat. Dan laknat tersebut dapat terwujud karena disebabkan bahwa kebanyakan perempuan biasanya mempunyai perasaan yang sangat halus dan sensitif sekali, sehingga dengan mudah akan menimbulkan kesedihan dan kepedihan baru, akibatnya kesabarannya tidak terkontrol dan tidak terkendali, dengan demikian muncullah hal-hal yang dilarang agama.
b). Makruh
apabila seorang perempuan berziarah dan ia tidak menimbulkan hal-hal yang dilarang agama sebagaimana disebutkan diatas, maka hukumnya makruh.
c). Boleh
bahkan disyariatkan, yaitu disyariatkan sebagaimana hukum ziarah kubur bagi laki-laki. Karena ziarah kubur dapat mengingatkan mati dan akhirat, sementara mengingat mati dan akhirat sama-sama disyari’atkan baik bagi laki-laki maupun perempuan. Wallahu ‘Alam.

C.    Waktu Ziarah Kubur
Pada dasarnya ziarah kubur diperbolehkan sepanjang waktu, tidak ada waktu makruh dan haram dalam berziarah kubur, dan ziarah kubur tidak mesti dilakukan hanya ketika menjelang bulan Ramadhan saja, karena ziarah kubur bisa dilakukan kapan saja. Akan tetapi yang lebih afdhol dilakukan setiap hari jum’at, karena hari Jum’at adalah merupakan hari yang paling mulia dan terdapat waktu-waktu yang mustajab (dikabulkannya doa).

D.    Adab dan Tata Cara Ziarah Kubur
Sebelum masuk Maqbarah (komplek pemakaman)
-         Memberi salam dengan lafadz : “ Assalamu’alaikum Ahlad-diyari minal mu’minina wal-muslimina wa inna insya Allahu lalaahiquna as’alullahu lanaa walakumul-‘afiyah “.
-         Tidak perlu melepaskan alas kaki (sandal) kecuali alas kaki (sandal) tersebut terkena najis. Disyariatkan melepaskan alas kaki (sandal) apabila alas kaki (sandal) yang dipakai merupakan alas kaki (sandal) kemewahan yaitu sandal yang harganya mahal, karena ketika di kubur dianjurkan menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia.

Sesudah masuk Maqbarah (komplek pemakaman)
-         Tidak duduk diatas kubur, sebagaimana larangan Rasulullah saw dalam Hadits yang diriwayatkan imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah r.a : “ sungguh duduk diatas bara api, kemudian membakar pakaian kalian dan mengelupas kulitnya, itu lebih baik dari pada duduk diatas kubur “.
Kemudian al-Imam an-Nawawi didalam kitabnya al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menambahkan beberapa adab tata cara berziarah sebagai berikut :
-         Menghadap kekubur saat membaca salam dan bacaan-bacaan lainnya.
-         Menghadap kiblat saat berdoa
-         Boleh ziarah dengan cara berdiri, duduk atau sekedar lewat.
-         Mendekat kepada orang yang diziarahi, karena ziarah kubur hakikatnya adalah mendatangi orang yang diziarahi sebagaimana lazimnya didunia.
-         Membaca salam saat akan pulang

E.     Hal-Hal Yang Boleh di Lakukan Ketika Berziarah
1.      Membaca seluruh al-Qur’an , atau sebahagian dari al-Qur’an.
2.      Membaca dzikir, shalawat, tasbih, tahmid dll, yang biasa dikenal dengan tahlil.
3.      Mendoakan kepada mayit, bahkan ini suatu hal yang tidak boleh dilupakan.

F.     Hal-Hal yang Dilarang di Lakukan Ketika Berziarah
Sebagaimana dapat diambil dari kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan ketika ziarah kubur adalah :
1. duduk diatas kubur
2. bersandar dikubur
3. mencium kubur (nisannya)
4. mengusap-ngusap kubur
5. memegang-megang kubur
            Lebih lanjut al-Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitabnya Majmu’ Syarah al-Muhadzdab :
            Artinya : “ Abu Musa berkata, Imam Abu al-Hasan Muhammad Ibnu Marzuq al-Za’farani tergolong Ulama fiqh al-Muhaqqiqin dalam kitabnya bab jenazah mengatakan , dan hendaknya jangan memegang kubur dengan tangannya, tidak menciumnya dan inilah pendapat Ulama’ Salaf. Imam Abu al-Hasan berkata , memegang-megang kubur dan menciumnya sebagaimana yang dilakukan orang umum sekarang ini adalah termasuk amalan bid’ah munkarah menurut syara’ yang harus dihindari pengamalannya dan dilarang dalam melakukannya, ia berkata lagi barang siapa bermaksud memberikan salam kepada mayit, maka hendaknya memberikan salam melalui arah wajahnya, dan jika menghendaki doa, maka ia harus berputar dari tempatnya dan menghadap kiblat. Kemudian ia berkata lagi jangan memegang-megang kubur, menciumnya dan jangan mengusap-ngusapnya karena semua itu adalah termasuk kebiasaan orang-orang Nasrani. Kemudian al-Imam an-Nawawi  berkata : semua yang dikatakan diatas adalah benar, karena dengan nyata ada larangan untuk menta’zimkan (mengagungkan) kubur, dan karena tidak disunnahkan mengusap dua rukun (pojok) ka’bah (dua rukun syamy, selain Hajar aswad dan rukun Yamani)  apa lagi mengusap kubur, tentu lebih tidak disunnahkan “.


والله اعلم

Minggu, 22 Juni 2014

SAMBUNGAN BAB PUASA (Bag 2).




A.    Sunnah-Sunnah Puasa
Hal-hal yang disunnahkan atau dianjurkan ketika berpuasa itu sangat banyak sekali, diantaranya adalah :
1.      Bergegas berbuka ketika matahari telah benar-benar terbenam karena Rasulullah saw bersabda : “Orang selalu melakukan kebaikan selama mereka bergegas untuk berbuka” (H.R Bukhari dan Muslim). Menunda berbuka hukumnya makruh jika dia sengaja melakukan itu, menyegerakan berbuka puasa mengandung keutamaan,sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya bahwa Nabi saw bersabda : “Mengakhirkan sahur termasuk sunnah para Rasul” dan Imam Ahmad meriwayatkan Hadits : “Umatku selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka serta mengakhirkan sahur”.
2.      Berbuka dengan tiga biji kurma,kalau tidak ada kurma hendaknya dengan air. Dan al-Imam ar-Ruyani berkata : “ apabila tidak menemukan kurma hendaklah berbuka puasa dengan manis-manisan”, sebab dengan berpuasa kekuatan pandangan seseorang menjadi berkurang, sedangkan kurma dapat memulihkan kekuatan mata kembali, dan sesungguhnya makan manis-manisan itu dapat menambah menambah kekuatan sedangkan air dapat mensucikan.
3.      Membaca doa berbuka sebagaimana yang kita ketahui.
4.      Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, meskipun hanya sebiji kurma, seteguk air, dan sebagainya. Lebih sempurna jika menjamu mereka sampai kenyang. Hal ini sesuai dengan keterangan Hadits Shahih dari Nabi saw : “siapa yang memberi makan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa baginya pahala yang sama, pahala orang yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun”. Dianjurkan untuk berbuka bersama mereka, sebab itu lebih menunjukkan sikap rendah hati dan lebih merekatkan hati.
5.      Makan sahur dan mengakhirkan makan sahur selama tidak dalam keadaan ragu. 
6.      Mandi wajib sebelum subuh jika seseorang mempunyai kewajiban mandi, agar dia melaksanakan ibadah dalam kondisi suci.
7.      Menghindari perkataan yang kotor, dan juga dianjurkan untuk menghindari perbuatan dusta, ghibah, dan lain-lain yang diharamkan. Sebagaimana disebutkan didalam Hadits : “ banyak sekali orang yang berpuasa tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar, dan banyak sekali orang yang melakukan shalat malam tetapi tidak mendapatkan sesuatu apapun dari shalatnya kecuali jaga malam “ (H.R Hakim). Haram hukumnya menolong orang yang zhalim, selain itu bahwa menjalin hubungan kerja (bermuamalah) dengan orang-orang yang kebanyakan hartanya diperoleh dari uang haram hukumnya makruh, bahkan al-Imam an-Nawawi didalam kitabnya Syarah Muslim menyatakan bahwa hukumnya haram, kemudian duduk-duduk bersama orang fasiq hukumnya adalah dosa besar.
8.      Menjauhi kesenangan yang mubah yang tidak membatalkan puasa misalnya menikmati suara merdu (nyanyian), pemandangan, sentuhan dan penciuman, seperti mencium aroma bunga,dupa, dan parfum. Hal tersebut dimakruhkan sama seperti kemakruhan memasuki pemandian air hangat.
9.      Menghindari bersiwak (gosok gigi) setelah matahari tergelincir hingga terbenam, karena hukumnya adalah makruh.
10.  Pada bulan Ramadhan kita disunnahkan bersikap dermawan kepada keluarga, berbuat baik kepada kerabat dan tetangga, memperbanyak sedekah, membaca al-Qur’an, dan tadarus.
11.  Disunnahkan memperbanyak i’tikaf meskipun sesaat, terlebih pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, karena pada saat itu ada lailatul Qadar.

B.     Fidyah Puasa Wajib
Fidyah sebagai pengganti puasa wajib dikeluarkan dalam lima kondisi berikut :
1.      Besaran fidyah adalah satu mud (675 gr) makanan pokok suatu daerah yang didistribusikan kepada fakir dan miskin setiap hari. Harta tersebut diambil dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia yang mempunyai tanggungan puasa wajib misalnya Ramadhan, Nazhar atau puasa kafarat.
Menurut pendapat yang azhar sejalan dengan qaul qadim, seorang muslim yang meninggal dunia setelah memungkinkan untuk mengqadha puasa bagi walinya (semua kerabatnya, menurut pendapat yang mukhtar) harus mengqadha puasanya tanpa harus membayar 1 mud makanan. Ketentuan ini sesuai dengan Hadits Shahih : “siapa yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan puasa maka hendaklah walinya berpuasa atas namanya”. Jika dia meninggal dunia dalam kondisi yang tidak memungkinkan qadha puasa, walinya tidak wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha puasa, dan tidka berdosa karena tidak ada unsur kelalaian.
Apabila aorang lain melaksanakan puasa qadha atas nama simayit atas izin walinya, puasanya sah. Begitu juga halnya jika mayat semasa hidupnya telah mewasiatkan hal itu, baik orang itu mendapat upah atau tidak.
2.      Orang yang tidak mampu berpuasa karena lanjut usia atau sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya wajib mengeluarkan satu mud (fidyah).
3.      Wanita hamil atau menyusui jika tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya dan anaknya wajib membayar satu mud dan mengqadha puasa yang ditinggalkan. Namun apabila wanita hamil atau menyusui tersebut tidak berpuasa hanya karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya, dia hanya wajib mengqadha puasa tanpa harus membayar fidyah.
4.      Fidyah wajib dikeluarkan setiap hari oleh orang yang menunda qadha puasa seluruh Ramadhan atau sebagiannya hingga bulan Ramadhan berikutnya. Misalnya ia mampu mengqadha puasa pada tahun tersebut.
C.    Cara Pembayaran Fidyah
Moodel pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,
1.      Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa).
2.      Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” Bagi orang yang mampu haram hukumnya menunda pembayaran fidyah kecuali jika ia tidak mampu, maka ia boleh menunda membayar fidyah ditahun berikutnya.
Bagi orang lanjut usia, orang yang lumpuh, atau orang yang sangat berat menjalani puasa dan wanita hamil atau menyusui tidak boleh menyegerakan pembayaran fidyah untuk dua hari atau lebih, sebagaimana tidka boleh membayar zakat untuk dua tahun, namun jika ia mempercepat pembayaran fidyah hanya untuk sehari itu dibolehkan.

D.    Waktu Pembayaran Fidyah
Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua.
Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.
            Jadi kesimpulannya adalah orang yang wajib fidyah hanyalah orang yang sudah lanjut usia, sakit, hamil atau menyusui, dan orang yang menunda qadha puasanya. Selain dari pada yang 4 tersebut, tidak wajib fidyah namu wajib qadha.
والله اعلم




[1] Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy asy-Syafi’I pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 23 Sya’ban 1435 H bertepatan tanggal 21 Juni 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
Materi ini merupakan kajian dari kitab :
-         Kifayatul-Akhyar fi Jalli Ghayati al-Ikhtishar oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini.
Al-Fiqhu asy-Syafi’I al-Muyassar oleh asy-Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily