Minggu, 22 Juni 2014

SHALAT BERJAMA’AH DENGAN DUA IMAM dan SYARAT SHAH SHALAT BERJAMA'AH




A.    Hukum Shalat Berjama’ah Dengan Dua Imam
Adapun permasalahan yang dimaksud oleh judul di atas adalah sebagai berikut, misalnya ada 5 orang yang masbuq, kemudian mereka mendapati imam dalam satu keadaan tertentu,seperti imam sedang sujud. Kemudian mereka bertakbir dan sujud mengikuti imam. Setelah imam salam, salah seorang diantara mereka ada yang maju untuk menjadi imam. Secara singkat dapat difahami bahwa orang-orang yang shalat masbuq tersebut berimam dengan dua imam yang mana imam yang kedua adalah salah seorang diantara mereka.
Menurut kami para pemakalah, pemasalahan ini sangat sukar sekali untuk dibahas karena sedikit sekali kitab-kitab yang membahas masalah tersebut. Kami hanya mampu temukan dari beberapa kitab saja dan dalam kitab-kitab tersebut kami tidak menemukan adanya dalil yang berkenaan dengan masalah tersebut. Jadi dalam masalah ini kami hanya menuqil pendapat Ulama’ saja tanpa ada dalil yang menjelaskannya.
            Disebutkan didalam kitab Hasyiah I’anatuth-thalibin :

ولا قدوة بمقتد ولواحتمالا وان بان اماما وخرج بمقتد من انقطعت قدوته كان سلم الأ مام فقام مسبوق فاقتدى به آخر صحت اوقام مسبوقون فاقتدي بعضهم ببعض صحت ايضا علي المعتمد لكن مع الكراهه
            Artinya : “ dan tidak sah mengikut dengan orang yang mengikut, walaupun secara dugaan saja, dan keluar dari kata-kata : “orang yang sedang mengikut” orang yang terputus perikutannya seperti imam telah memberi salam, maka berdirilah masbuq, maka mengikuti dengannya orang lain, sahlah perikutannya itu, atau berdiri beberapa orang masbuq, maka mengikutilah setengah mereka kepada setengahnya, sah lah shalat mereka atas qaul yang mu’tamad akan tetapi makruh dilakukan[1] “.
            Apabila imam sudah salam, sedangkan diantara ma’mum ada yang masbuq, lalu mereka mengajukan salah seorang diantara mereka agar menjadi imam untuk menyempurnakan shalat. Didalam Madzhab Syafi’I sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam ar-Rafi’I dan pengarang kitab ar-Rawdhah hukumnya tidak boleh[2].
            Jadi dari keterangan-keterangan dapat disimpulkan bahwa shalat berjama’ah dengan dua imam yaitu menjadikan salah seorang yang masbuq menjadi imam setelah imam yang pertama salam hukumnya adalah makruh menurut madzhab Syafi’i.

B.     Permasalahan-Permasalahan Shalat Masbuq.
Apabila seorang makmum dating kemesjid atau kesuatu jama’ah atau mendapati imam sedang shalat, maka hendaklah ia masuk kedalam shalat dengan bertakbiratul ihram lalu mengikuti imam sebagaimana Rasulullah saw bersabda :

اذا اتي احدكم الصلاة والامام على حال فليصنع كما يصنع الامام

            Artinya : “ apabila kamu ingin melaksanakan shalat, sedang imam dalam satu keadaan, maka hendaklah kamu perbuat apa yang diperbuat imam “ (H.R Turmudzi)[3].
            Hadits ini menunjukkan wajib kepada orang yang dating belakangan untuk menggabungkan diri dengan imam dibagian mana saja imam berada. Jikalau imam sedang ruku setelah takbiratul ihram ia (orang yang masbuq) langsung ruku’ juga bersama imam.
            Seseorang dikatakan mendapatkan satu raka’at apabila ia mampu ikut ruku; bersama imam, hal ini adalah pendapat empat Madzhab, akan tetapi dengan syarat apabila makmum yang masbuq tersebut mampu ikut ruku’ bersama imam dengan disertai thuma’ninah. Namun, jikalau ia mampu ruku’ bersama imam namun tidak mendapatkan thuma’ninah karena ketika itu ia baru saja ruku’ kemudian imamnya keburu bangun dari ruku’nya, maka hampalah atau sia-sialah raka’at itu baginya.

فتسقط عنه الفاتحة كلها ان ادراك الأمام في الركوع او بعضها ان ادركه في القرأة
            Artinya : “ maka gugurlah daripada masbuq kewajiban membaca al-Fatihah seluruhnya, jika ia mendapatkan imam didalam ruku’ atau sebagiannya, jika ia dapatkan ia dalam membaca[4]
C.    Syarat-Syarat Mengikuti Imam
Agar seorang makmum mendapatkan pahala shalat berjama’ah hendaklah ia mengetahui syarat-syarat mengikuti imam. Adapun syarat-syarat mengikuti imam ada sebanyak 12 macam, apabila salah satu diantara ke-12 macam tersebut ada yang tidak dipenuhi maka makmum tersebut tidak mendapatkan pahala berjama’ah.

شروط الأقتداء اثنا عشر , الأول نية الأقتداء أو نحوها
      Artinya : “ Syarat mengikuti imam ada 12 macam, yang pertama adalah niat mengikuti imam “.
Maksudnya yaitu hendaklah seorang makmum meniatkan dengan “ مأموما “. Dalam shalat fardhu yang lima meniatkan “ مأموما “ dalam shalat berjama’ah hukumnya sunnat, “, apabila seorang makmum tidak meniatkan demikian shalatnya tetap sah akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala berjama’ah itu artinya ia dihitung munfarid (shalat sendiri), namun dalam shalat jum’at hukumnya wajib meniatkan “مأموما”.

ولثانى متابعته لأمامه بأن يتأخر تحرمه عن جميع تحرم امامه
      Artinya : “ yang kedua adalah takbiratul ihram makmum setelah selesai takbiratul ihramnya imam “.
Maksudnya adalah makmum melakukan takbiratul ihram apabila imamnya telah selesai melakukan takbiratul ihram baik gerakan maupun ucapan (lafadz). Apabila makmum melakukan takbiratul ihram sementara imam belum selesai melakukan takbiratul ihram baik dari gerakan maupun ucapan (lafadz) maka tidak sah shalat berjama’ah makmum tersebut.

والثالث العلم بانتقالات الأمام , كرؤيته له أو لبعض الصف
Artinya : “ yang ketiga adalah mengetahui perpindahan imam , seperti melihat gerakan imam atau melihat gerakan shaf “.
Maksudnya adalah hendaklah seorang makmum harus mengetahui gerakan tubuh imam, ini adalah sebuah keharusan, untuk mengetahui perpindahan imam bisa dengan melihat langsung gerakan imam, melihat gerakan shaf, mendengar suara imam atau mendengar suara muballigh.

الرابع موافقة صلاة المأموم صلاة الأمام في لأفعال الظاهرة
Artinya : “ yang ke empat adalah bentuk shalat makmum sesuai dengan shalat imam dalam hal gerakan yang zhahir “.
Maksudnya adalah sesuai atau sama nazhamnya shalat makmum dengan imam. Misalnya imam shalat fardhu makmum shalat fardhu, atau imam shalat fardhu makmum shalat sunnah, atau imam shalat sunnah makmum shalat fardhu, atau imam shalat fardhu makmum shalat qadha, atau imam shalat ashar makmum shalat zhuhur. Akan tetapi apabila nazhamnya tidak sama misalnya imam shalat jenazah, atau shalat khusuf (gerhana) makmumnya shalat fardhu maka hukumnya tidak sah shalat makmum tersebut.

والخامس اجتماعهما بمكان واحد
Artinya : “ yang kelima makmum dan imam berkumpul dalam satu tempat “

والسادس ان لا يخالفه في سنن تفحش المخالفة فيها
Artinya : “ yang ke enam makmum tidak berbeda dengan imam pada sunnat-sunnat shalat “
Maksudnya adalah apabila imam melakukan sunnat-sunnat shalat maka disyaratkan makmum tidak berbeda dengan imam itu artinya imam hendaklah mengikuti perkara-perkara sunnat dalam shalat, misalnya apabila imam membaca ayat-ayat yang terdapat perintah untuk melakukan sujud tilawah maka apabila imamnya melakukan sujud tilawah makmum wajib melakukan sujud tilawah karena mengikuti imam.

والسابع ان لا يتقدم على امامه في الموقف
Artinya : “ yang ke tujuhtempat berdiri makmum tidak boleh lebih terdahulu dari tempat imam”
Maksudnya adalah posisi makmum tidak berada didepan imam dan yang menjadi acuan untuk mengukur lurusnya shaf adalah dengan melihat tumit para makmum sejajar atau tidak.

والثامن ان تكون صلاة الأمام صحيحة في اعتقاد المأموم
Artinya : “ yang kedelapan bahwa adalah shalat imam shah menurut keyakinan makmum “.

والتاسع ان لا يقتاد بمن تلزمه الأعادة
Artinya : “ yang kesembilan bahwa makmum tidak meyakini bahwa shalat imam wajib diqadha “

والعاشر ان لا يكون الأمام مقتديا , لانه تابع فلا يكون متبوعا
Artinya : “ yang kesepuluh adalah tidak bermakmum kepada orang yang sedang bermakmum kepada orang lain, sedang dia sedang mengikuti imamnya, maka bagaimana mungkin bermakmum kepadanya “.

والحادى فلا يجوز ان يقتدى ذكر بأنثى
Artinya : “ yang kesebelas adalah laki-laki tidak boleh bermakmum kepada wanita “.

والثاني عشر ان ل يكون الامام اميا
Artinya : “ yang ke dua belas adalah bagi orang yang qari’ (baik bacaan al-fatihahnya) tidak bermamkmum dengan orang yang ummi, yaitu orang yang tidak bisa melafalkan huruf-huruf dalam surah al-Fatihah dengan baik, kecuali jika kemampuan makmum juga demikian adanya[5] “.


[1] Asy-Syaikh Sayyid al-Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati, Hasyiah I’anantuth Thalibin , Juz II, h.50.
[2] Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fi Ikhtilaf al-a‘immah, al-Haramain li ath-Thiba’ah wa an-Nasya wa at-Tawzi’, Jeddah, h.80.
[3] Asy-Syaikh Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarak Furi, Tuhfatu al-Ahwadzi, Maktabah Syamilah, Juz III. H. 162.
[4] Asy-Syaikh Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah bin Ahmad al-Anshari al-Ramli, Syarah Sittin ar-Ramli, Darul Fikr, Beirut, h. 46.
[5] Asy-Syaikh Muhammad amin al-Kurdi al-Irbali asy-Syafi’I, Tanwiru al-Qulub fi Mu’amalati ‘alamil Ghuyub, al-Haramain Indonesia, h. 161-163.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar