Minggu, 22 Juni 2014

SAMBUNGAN BAB PUASA (Bag 1).




A.    Syarat Sah Puasa
Syarat sah puasa ada tujuh, yaitu sebagai berikut :
1.      Niat puasa setiap hari, untuk puasa fardhu niat puasa dilakukan pada malam hari, tidak demikian halnya dengan puasa sunnah. Niat puasa sunnah boleh dilakukan sebelum tergelincir matahari kea rah barat. Hal tersebut berdasarkan Hadits shahih bahwa suatu hari Rasulullah saw bertanya kepada’Aisyah r.anhuma : “ apakah kalian mempunyai makanan untuk sarapan? ‘Aisyah menjawab : “Tidak” kalau begitu aku akan berpuasa jawab Nabi saw”.
Wajib menentukan jenis puasa seperti dalam puasa fardhu misalnya puasa Ramadhan , nadzar atau kafarat, dalam puasa sunnah yang mempunyai sebab misalnya puasa memohon hujan (istisqa’) tanpa menunggu intruksi pemerintah atau puasa dalam puasa pada waktu – waktu tertentu seperti puasa hari senin, arafah, asyura, atau ayyamul bid (pertengahan bulan). Penentuan niat puasa selain puasa fardhu bertujuan agar memperoleh pahala khusus, bukan berarti sahnya puasa bergantung pada hal tersebut.
Kewajiban diatas tanpa menyertakan niat kefardhuan pada puasa fardhu, sebab ini tidaklah wajib. Karena puasa ramadhan yang dilakukan orang yang baligh sudah pasti fardhu.
2.      Menahan diri dari melakukan hubungan intim secara sengaja.
3.      Menghindari muntah secara sengaja, berbeda dengan muntah yang tidak sengaja. Apabila ia muntah tanpa disengaja puasanya tidak batal.
4.      Mencegah masuknya benda apapun kedalam lubang tubuh yang terbuka (yaitu hidung, telinga, putting, atau kemaluan dan anus) dan sesuatu seperti lubang  yaitu bagian dalam otak, perut, usus (saluran pencernaan), kandung kemih, luka kepala yang menembus otak, perut , luka menembus perut dan semacamnya. Akan tetapi minyak wangi, celak, tetesan air mata, serta serapan air ketika mandi, tidak membatalkan puasa.
Apabila seseorang makan dan minum, baik sedikit ataupun banyak karena lupa atau karena dipaksa atau tidak tahu bahwa hal tersebut membatalkan puasa, maka puasa orang tersebut tidaklah batal. Namun dalam masalah ini orang yang tidak tahu tidak diberikan toleransi kecuali jika dia baru masuk Islam atau berdomisili didaerah terpencil yang jauh dari ‘Ulama.
Puasa seseorang tidak batal sebab kemasukan debu jalanan atau sejenis serbuk seperti tepung, mencium atau mencicipi makanan tidaklah membatalkan puasa.
5.      Beragama Islam
6.      Suci dari haid dan nifas
7.      Berakal sempurna (baligh) dan tidak gila. Pingsan atau mabuk yang terjadi akibat tindakan gegabah (misalnya orang yang berpuasa mengonsumsi atau menggunakan sesuatu yang ternyata memabukkan) hal itu tidak membatalkan puasa.

B.     Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa
Batasan hal yang membatalkan puasa adalah masuknya segala sesuatu (padat atau cair, bukan gas) dari bagian luar tubuh kebagian dalam tubuh melalui lubang yang terbuka, dengan disengaja dan dalam kondisi ingat sedang berpuasa.  Seandainya seseorang yang berpuasa meneteskan sesuatu atau memasukkan tusuk celak, lidi, atau jarinya kedalam telinganya maka puasanya batal. Begitu juga jika ia menyumbat penis atau anusnya, atau menyumpat vagina dengan kapas, menurut pendapat yang ashah, puasanya batal. Puasa tidak batal sebab memakai celak atau obat tetes mata walaupun rasanya terserap ditenggorokan, sebab mata bukan rongga dan tidak mempunyai lubang yang menembus kebagian dalam tubuh.
Hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut :
1.      Makan atau minum walaupun sedikit.
2.      Sampainya sesuatu kedalam perut, seperti bekas tikaman dan obat. Andaikata ada orang menusukkan sebilah pisau ke dalam daging betisnya, hal itu tidak membatalkan puasanya sebab daging tersebut tidak termasuk bagian dalam. Namun jika seseorang menusukkan pisau kearah perut, maka hal itu membatalkan puasanya karenan perut adalah rongga dalam.
3.      Muntah dengan sebab sengaja
4.      Menelan dahak yang berasal dari rongga kepala, padahal ia mampu mengeluarkannya. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Kemudian apabila ludah itu sudah bercampur dengan benda lain, baik benda lain itu suci seperti memilin benag berwarna dengan mulut, atau berupa benda najis seperti gusi yang berdarah dan ludah yang telah berubah karena darah, dapat membatalkan puasa tanpa khilaf. Andaikata darahnya sudah hilang dan ludah sudah berubah menjadi putih, jika ludah tesebut ditelan menjadi batal puasanya dan mulutnya menjadi najis. Dan tidak dapat mensucikan mulut tersebut dengan berkumur-kumur.
Andaikata ludahnya keluar sampai batas bibir, lalu dikembalikan lagi dengan lidah kemudian di telan, maka batal puasanya. Berbeda jika orang itu menjulurkan lidahnya keluar dan dipucuk lidahnya terdapat ludah yang belum berpisah, lalu ludah itu ditelan, menurut qaul shahih puasanya tidak menjadi batal. Kemudian batal puasa seseorang apabila menelan sesuatu yang menyelip digigi, padahal ia bisa membuangnya, namun jika ia tidak mampu membuangnya tidak membatalkan puasa.
5.      Berkumur atau istinsyaq yang dilakukan secara berlebihan sehingga masuk kedalam tenggorakan dapat membatalkan puasa. Akan tetapi jika berkumur-kumur dan istinsyaq yang dilakukan tidak secara berlebihan namun ada yang yang tertelan itu tidaklah membatalkan puasa.
6.      Bersenggama
7.      Ejakulasi (keluar mani) dengan sebab sentuhan (onani), rabaan wanita atau lainnya, ciuman, atau bercumbu, itu juga membatalkan puasa. Jika tidak ada unsure sentuhan misalnya ejakulasi sebab berkhayal, mimpi basah, atau memandang penuh syahwat, maka tindakan tersebut tidak membatalkan puasa. Menurut pendapat yang ashah , mencium yang sampai menggerakkan syahwat hukumnya makruh tahrim bagi orang yang berpuasa.
8.      Haid atau nifas.
9.      Menyuntikkan obat melalui anus atau kemaluan. Atau menggunakan obat hirup melalui hidung[2].
10.  Terserang gangguan jiwa, karena dalam kondisi itu orang tersebut tidak lagi dikatakan sebagai mukallaf, namun semaput (pitam) tidak membatalkan puasa.
11.  Murtad.

C.    Udzur Yang Membolehkan Tidak Berpuasa
Kita boleh tidak berpuasa apabila hal tersebut sesuai dengan Syar’I, adapun hal-hal yang membolehkan kita tidak berpuasa menurut Syar’I adalah sebagai berikut :
1.      Sakit yang memperbolehkan tayammum, yaitu sakit yang menyebabkan seseorang sangat berat untuk berpuasa atau dikhawatirkan sakitnya bertambah parah jika berpuasa.
2.      Perjalanan jauh yang mubah. Akan tetapi kita tidak boleh membatalkan puasa jika melakukan perjalanan setelah fajar terbit, namun apabila seseorang melakukan perjalanan sebelum fajar terbit dia boleh berbuka puasa, meskipun pada malam harinya telah berniat puasa. Akan tetapi ketika seorang anak menginjak usia baligh, musafir telah sampai tujuan , sementara mereka sedang berpuasa, maka mereka haram berbuka. Jika tidak dalam keadaan berpuasa, mereka disunnahkan untuk imsa’ (menahan diri dari makan dan minum).
Maka orang yang sakit, musafir, murtad, wanita yang haid atau nifas, orang yang pingsan, dan orang mabuk, wajib mengqadha puasanya. Qadha puasa disunnahkan untuk dilakukan secara berturut-turut dan segera mungkin, kita tidak boleh menunda qadha puasa hingga ramadhan berikutnya tanpa uzur. Jika dia menunda Qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya, maka selain mengqadha puasa ia juga harus mengeluarkan satu mud makanan untuk satu hari puasa. Jika dia menunda sampa dua Ramadhan berikutnya, dia harus mengeluarkan 2 mud makanan dan seterusnya.




والله اعلم




[1] Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy asy-Syafi’I pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal  Sya’ban 1435 H bertepatan tanggal 14 Juni 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
Materi ini merupakan kajian dari kitab :
-         Kifayatul-Akhyar fi Jalli Ghayati al-Ikhtishar oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini.
-         Al-Fiqhu asy-Syafi’I al-Muyassar oleh asy-Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily.

[2] Diperjelas kembali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar