Minggu, 22 Juni 2014

PUASA DAN METODE MENENTUKAN AWAL RAMADHAN (PUASA)


[1]

A.    Pengertian dan Metode Menentukan Awal Ramadhan (Puasa)
            Puasa menurut lughah (bahasa) artinya menahan diri dari sesuatu.  Sedangkan menurut Syara’ (istilah) artinya menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa sehari penuh dengan cara yang sudah ditentukan. Atau secara terperinci puasa adalah menahan diri yang tertentu, oleh orang tertentu dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu.
            Wajibnya puasa Ramadhan berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’. Adapun firman Allah Ta’ala adalah :
                Artinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa “(Q.S al-Baqarah 183).
            Adapun dalam Hadits disebutkan :
            Artinya : “ Islam tegak atas lima perkara….(disebutkan antara lain) puasa dibulan Ramadhan “ (H.R Bukhari dan Muslim). Dan ijma’ telah menetapkan bahwa wajibnya atas puasa Ramadhan.
            Puasa pertama sekali diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun 2 H. diantara keutamaan bulan Ramadhan yaitu bulan pertama kali al-Qur’an diturunkan. Dalam Hadits disebutkan : “ Bulan Ramadhan adalah tuan dari bulan-bulan yang lain “ (H.R Thabrani dalam kitabnya al-Kabir).
            Puasa Ramadhan wajib dilaksanakan bila Bulan Sya’ban telah genap tiga puluh hari[2], atau bila seorang muslim yang adil atau dua orang yang adil melihat hilal[3] dan melihat kesaksian dihadapan hakim, dan jika hilal terlihat disuatu wilayah secara otomatis besoknya wajib berpuasa, meskipun hitungan bulan Sya’banya hanya 29 hari.
            Dalam menentukan awal bulan Ramadhan didahulukan metode ru’yatul hilal daripada metode hisab, adapun dalilnya adalah firman Allah swt :
Artinya : “ Barangsiapa diantara kamu melihat bulan (hilal), maka hendaklah berpuasa“ (Q. S al-Baqarah 185).
Dan Hadits Nabi saw :
Artinya : “ Bila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika kalian telah melihat hilal, berbukalah. Apabila posisi kalian dan bulan tertutup mendung, perkirakanlah atau pastikan tiga puluh hari “.
Dari firman Allah dan Hadits Ibnu Umar tersebut dapat difahami bahwa metode yang pertama sekali didahulukan dalam menentukan awal bulan Ramadhan adalah metode ru’yatul hilal. Dan hilal tidak bisa diketahui keberadaannya sebelum tanggal 29 Sya’ban, atau dalam menentukan hari raya idul fitri hilal tidak bisa terlihat sebelum tanggal 29 Ramadhan. Maka dapat disimpulkan bahwa awal Ramadhan dan Idul Fitri tidak bisa ditentukan atau diketahui sebelum masuk tanggal 29 Sya’ban dan 29 Ramadhan. Kemudian apabila ditanggal 29 Sya’ban hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari itu artinya esoknya tidak wajib berpuasa. Adapun sebagaian orang, mereka  jauh-jauh hari sudah menentukan kapan waktu awal Ramadhan dan Idul Fitri , mereka berasalan dengan kemajuan teknologi awal bulan Ramadhan dan Idul Fitri sudah bisa ditentukan tanpa harus menunggu terlihatnya hilal, ini adalah pendapat yang lemah karena menurut Mayoritas Ulama’ walaupun teknologi sudah maju tapi dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri tetap menggunakan metode ru’yatul hilal dengan sebab keumuman ayat Q.S al-Baqarah 185 dan Hadits dari Ibnu Umar. Wallahu a’lam. Bagi kita wajib hukumnya mengikuti pemerintah dalam menentukan awal Ramadhan dan ‘Idul fitri.
Ketika penduduk yang berada diwilayah yang jauh belum dikenai kewajiban puasa, lalu ada orang yang berasal dari wilayah yang telah terlihat hilal dan telah berpuasa pergi kewilayah tersebut, maka menurut pendapat yang ashah dia wajib menyesuaikan dengan penduduk setempat (mengundurkan akhir puasanya), meskipun dia telah menyempurnakan tiga puluh hari. Alasannya, perpindahannya kewilayah tersebut menjadikan ia bagian dari mereka, dan harus mematuhi hukumnya.
Sebaliknya orang yang bepergian dari wilayah lain kewilayah yang telah terlihat hilal, dia berhari raya bersama penduduk wilayah itu dan mengqadha puasa satu hari.
Seorang pelaut yang telah melangsungkan hari raya diwilayahnya, lalu perahunya terseret ombak kewilayah yang jauh dan penduduknya masih berpuasa, menurut pendapat yang ashah, dia harus menahan untuktidak makan dan minum (imsak) pada hari tersisa. Wallahu a’lam

B.     Syarat-Syarat Wajib Puasa
Orang yang dikenai puasa Ramadhan disyaratkan harus orang yang berakal, baligh, Islam dan mampu. Jadi, puasa tidak diwajibkan bagi orang gila dan anak kecil sebab mereka tidak dikenai taklif (perintah agama).  Puasa juga tidak diwajibkan bagi orang yang lemah karena sudah tua renta atau sakit parah. Adapun bagi orang yang sama sekali tidak kuat berpuasa, atau kuat tetapi andaikata diteruskan akan membawa bahaya, maka orang itu tidak wajib berpuasa. Akan tetapi orang itu wajib membayar fidyah yaitu satu mud[4] bahan makanan sebagai gantinya puasa satu hari menurut qaul yang ashah yaitu jika orangnya mampu membayar. Jadi andaikata orang itu tidak mampu membayar pada saat it, tetapi dikemudian hari mampu, dalam hal ini ada dua pendapat ; pertama, apabila ia dikemudian hari telah mampu maka wajib ia membayar fidyah puasanya, dan kedua, tidak wajib membayar fidyahnya sebagaimana Hadits mengenai kaffarah jima’ ketika orangnya tidak mampu, dan Nabi saw membebaskannya dari kaffarah.  Wallahu a’lam
Orang tuan wajib menyuruh anaknya yang berumur tujuh tahun untuk berpuasa, seperti halnya shalat, serta memukulnya pada usia sepuluh tahun jika anak tersebut meninggalkannya padahal ia mampu.

C.    Fardhu (Rukun Puasa)
Rukun puasa ada tiga, yaitu orang yang berpuasa, niat puasa, dan menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa[5].
1.      Niat Puasa
Perintah niat puasa berdasarkan Hadits “ Segala amal perbuatan harus disertai dengan niat” (HR. Bukhari dan Muslim). Tempatnya niat ialah didalam hati, tidak disyaratkan harus mengucapkan atau melafadzkannya. Niat wajib dilakukan pada malam hari (tabyit an-Niyah), dan niat puasa dilakukan setiap malam, karena setiap hari dihitung ibadah tersendiri.  Pada ibadah lain niat dilakukan diawal ibadah , awal ibadah puasa adalah setelah terbit fajar (adzan subuh) mengapa niatnya wajib dimalam hari? Jawab : “ Niat puasa berbeda dengan niat ibadah lainnya, niat ibadah puasa Ramadhan wajib dimalam hari (tabyit an-Niyah) dan niat puasa Ramadhan disebut azzam (keinginan), Rasulullah saw bersabda : “ barangsiapa yang tidak berniat puasa dimalam hari sebelum fajar maka tiada puasa baginya “. (H.R Daruquthni dan al-Baihaqi dari ‘Aisyah).
Jika seseorang melakukan niat puasa bersamaan dengan terbitnya fajar (adzan subuh) maka niatnya tidak sah, sebab niat puasa disyaratkan dilakukan dimalam hari sebelum terbit fajar.  Andaikata seorang berniat puasa untuk segenap bulan Ramadhan , sah niatnya untuk hari pertama saja menurut Madzhab yang kuat.  Kemudian jikalau seseorang berniat ingin keluar dari puasanya atau ingin membatalkan puasanya , maka tidak batal puasanya menurut Qaul yang shahih selama ia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.
Niat puasa yang paling sempurna adalah : “ Nawaitu Shauma Ghadin ‘an ‘adai Fardhi Syahri Ramadhani Hadzihi as-Sanati Lillahi Ta’ala”. Artinya (sengaja aku niat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala). Niat ‘ada atau Qadha hukumnya sunnah.  Orang yang hendak berpuasa cukup menggetarkan kata “puasa” dalam hati.

2.      Menahan Diri Dari Sesuatu Yang Membatalkan Puasa
Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa, antara lain : makan dan minum (walaupun sedikit), seperti makan biji-bijian secara sengaja, atau mengkonsumsi sesuatu yang serupa dengan makanan seperti obat-obatan dan rokok.
Yang menjadi patokan adalah puasa menjadi batal dengan masuknya suatu benda melalui lubang yang terbuka dengan sengaja dan ingat akan puasanya.
Syarat “dalam badan” ialah masuk kedalam rongga dalam. Sekalipun benda yang masuk itu tidak berubah warna,demikian yang shahih. Sehingga andaikata ada seseorang meneteskan suatu benda cair kedalam telinganya atau memasukkan pencelak mata atau jerami kedalam telinga dapat membatalkan puasa.
Begitu pula temasuk rukun puasa ialah menahan diri dari muntah yang disengaja, apabila seseorag muntah dengan sengaja, maka puasanya menjadi batal.

3.      Mengetahui Awal dan Akhir Puasa
Pengetahuan awal dan akhir puasa harus diketahui secaragaris besar demi keabsahan puasa. Jika seseorang niat puasa setelah terbit fajar maka puasanya tidak sah atau dia makan dan yakin masih malam padahal telah terbit fajar, dia harus mengqadha puasanya.  Demikian halnya seandainya dia makan dan yakin sudah masuk waktu malam, ternyata belum, maka dia wajib mengqadha puasanya.





والله اعلم







[1] Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy asy-Syafi’I pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 7 Sya’ban 1435 H bertepatan tanggal 7 Juni 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
Materi ini merupakan kajian dari kitab :
-         Kifayatul-Akhyar fi Jalli Ghayati al-Ikhtishar oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini.
-         Al-Fiqhu asy-Syafi’I al-Muyassar oleh asy-Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily.

[2] Disebut metode hisab.
[3] Disebut metode ru’yatul hilal.
[4] 1 mut = 675 gram jika digenapkan sekitar 7 ons makanan pokok.
[5] Didalam kitab Kifayatul Akhyar ditambahkan satu rukun lagi yaitu mengetahui awal dan akhir puasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar