Minggu, 22 Juni 2014

SAMBUNGAN BAB PUASA (Bag 2).




A.    Sunnah-Sunnah Puasa
Hal-hal yang disunnahkan atau dianjurkan ketika berpuasa itu sangat banyak sekali, diantaranya adalah :
1.      Bergegas berbuka ketika matahari telah benar-benar terbenam karena Rasulullah saw bersabda : “Orang selalu melakukan kebaikan selama mereka bergegas untuk berbuka” (H.R Bukhari dan Muslim). Menunda berbuka hukumnya makruh jika dia sengaja melakukan itu, menyegerakan berbuka puasa mengandung keutamaan,sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya bahwa Nabi saw bersabda : “Mengakhirkan sahur termasuk sunnah para Rasul” dan Imam Ahmad meriwayatkan Hadits : “Umatku selalu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka serta mengakhirkan sahur”.
2.      Berbuka dengan tiga biji kurma,kalau tidak ada kurma hendaknya dengan air. Dan al-Imam ar-Ruyani berkata : “ apabila tidak menemukan kurma hendaklah berbuka puasa dengan manis-manisan”, sebab dengan berpuasa kekuatan pandangan seseorang menjadi berkurang, sedangkan kurma dapat memulihkan kekuatan mata kembali, dan sesungguhnya makan manis-manisan itu dapat menambah menambah kekuatan sedangkan air dapat mensucikan.
3.      Membaca doa berbuka sebagaimana yang kita ketahui.
4.      Memberi makanan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa, meskipun hanya sebiji kurma, seteguk air, dan sebagainya. Lebih sempurna jika menjamu mereka sampai kenyang. Hal ini sesuai dengan keterangan Hadits Shahih dari Nabi saw : “siapa yang memberi makan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa baginya pahala yang sama, pahala orang yang berpuasa tidak berkurang sedikitpun”. Dianjurkan untuk berbuka bersama mereka, sebab itu lebih menunjukkan sikap rendah hati dan lebih merekatkan hati.
5.      Makan sahur dan mengakhirkan makan sahur selama tidak dalam keadaan ragu. 
6.      Mandi wajib sebelum subuh jika seseorang mempunyai kewajiban mandi, agar dia melaksanakan ibadah dalam kondisi suci.
7.      Menghindari perkataan yang kotor, dan juga dianjurkan untuk menghindari perbuatan dusta, ghibah, dan lain-lain yang diharamkan. Sebagaimana disebutkan didalam Hadits : “ banyak sekali orang yang berpuasa tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya itu kecuali lapar, dan banyak sekali orang yang melakukan shalat malam tetapi tidak mendapatkan sesuatu apapun dari shalatnya kecuali jaga malam “ (H.R Hakim). Haram hukumnya menolong orang yang zhalim, selain itu bahwa menjalin hubungan kerja (bermuamalah) dengan orang-orang yang kebanyakan hartanya diperoleh dari uang haram hukumnya makruh, bahkan al-Imam an-Nawawi didalam kitabnya Syarah Muslim menyatakan bahwa hukumnya haram, kemudian duduk-duduk bersama orang fasiq hukumnya adalah dosa besar.
8.      Menjauhi kesenangan yang mubah yang tidak membatalkan puasa misalnya menikmati suara merdu (nyanyian), pemandangan, sentuhan dan penciuman, seperti mencium aroma bunga,dupa, dan parfum. Hal tersebut dimakruhkan sama seperti kemakruhan memasuki pemandian air hangat.
9.      Menghindari bersiwak (gosok gigi) setelah matahari tergelincir hingga terbenam, karena hukumnya adalah makruh.
10.  Pada bulan Ramadhan kita disunnahkan bersikap dermawan kepada keluarga, berbuat baik kepada kerabat dan tetangga, memperbanyak sedekah, membaca al-Qur’an, dan tadarus.
11.  Disunnahkan memperbanyak i’tikaf meskipun sesaat, terlebih pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, karena pada saat itu ada lailatul Qadar.

B.     Fidyah Puasa Wajib
Fidyah sebagai pengganti puasa wajib dikeluarkan dalam lima kondisi berikut :
1.      Besaran fidyah adalah satu mud (675 gr) makanan pokok suatu daerah yang didistribusikan kepada fakir dan miskin setiap hari. Harta tersebut diambil dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia yang mempunyai tanggungan puasa wajib misalnya Ramadhan, Nazhar atau puasa kafarat.
Menurut pendapat yang azhar sejalan dengan qaul qadim, seorang muslim yang meninggal dunia setelah memungkinkan untuk mengqadha puasa bagi walinya (semua kerabatnya, menurut pendapat yang mukhtar) harus mengqadha puasanya tanpa harus membayar 1 mud makanan. Ketentuan ini sesuai dengan Hadits Shahih : “siapa yang meninggal dunia dan mempunyai tanggungan puasa maka hendaklah walinya berpuasa atas namanya”. Jika dia meninggal dunia dalam kondisi yang tidak memungkinkan qadha puasa, walinya tidak wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha puasa, dan tidka berdosa karena tidak ada unsur kelalaian.
Apabila aorang lain melaksanakan puasa qadha atas nama simayit atas izin walinya, puasanya sah. Begitu juga halnya jika mayat semasa hidupnya telah mewasiatkan hal itu, baik orang itu mendapat upah atau tidak.
2.      Orang yang tidak mampu berpuasa karena lanjut usia atau sakit yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya wajib mengeluarkan satu mud (fidyah).
3.      Wanita hamil atau menyusui jika tidak berpuasa karena mengkhawatirkan kondisi dirinya dan anaknya wajib membayar satu mud dan mengqadha puasa yang ditinggalkan. Namun apabila wanita hamil atau menyusui tersebut tidak berpuasa hanya karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya, dia hanya wajib mengqadha puasa tanpa harus membayar fidyah.
4.      Fidyah wajib dikeluarkan setiap hari oleh orang yang menunda qadha puasa seluruh Ramadhan atau sebagiannya hingga bulan Ramadhan berikutnya. Misalnya ia mampu mengqadha puasa pada tahun tersebut.
C.    Cara Pembayaran Fidyah
Moodel pembayarannya dapat diterapkan dengan dua cara,
1.      Memasak atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan selama bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Anas bin Malik ketika beliau sudah menginjak usia senja (dan tidak sanggup berpuasa).
2.      Memberikan kepada orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Alangkah lebih sempurna lagi jika juga diberikan sesuatu untuk dijadikan lauk.
Pemberian ini dapat dilakukan sekaligus, misalnya membayar fidyah untuk 20 hari disalurkan kepada 20 orang miskin. Atau dapat pula diberikan hanya kepada 1 orang miskin saja sebanyak 20 hari. Al Mawardi mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.” Bagi orang yang mampu haram hukumnya menunda pembayaran fidyah kecuali jika ia tidak mampu, maka ia boleh menunda membayar fidyah ditahun berikutnya.
Bagi orang lanjut usia, orang yang lumpuh, atau orang yang sangat berat menjalani puasa dan wanita hamil atau menyusui tidak boleh menyegerakan pembayaran fidyah untuk dua hari atau lebih, sebagaimana tidka boleh membayar zakat untuk dua tahun, namun jika ia mempercepat pembayaran fidyah hanya untuk sehari itu dibolehkan.

D.    Waktu Pembayaran Fidyah
Seseorang dapat membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas bin Malik ketika beliau telah tua.
Yang tidak boleh dilaksanakan adalah pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka yang seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayarkan fidyah ketika hari itu juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.
            Jadi kesimpulannya adalah orang yang wajib fidyah hanyalah orang yang sudah lanjut usia, sakit, hamil atau menyusui, dan orang yang menunda qadha puasanya. Selain dari pada yang 4 tersebut, tidak wajib fidyah namu wajib qadha.
والله اعلم




[1] Makalah ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy asy-Syafi’I pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 23 Sya’ban 1435 H bertepatan tanggal 21 Juni 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
Materi ini merupakan kajian dari kitab :
-         Kifayatul-Akhyar fi Jalli Ghayati al-Ikhtishar oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini.
Al-Fiqhu asy-Syafi’I al-Muyassar oleh asy-Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily

Tidak ada komentar:

Posting Komentar