Minggu, 16 Februari 2014

Thalaq (perceraian)


THALAQ (PERCERAIAN)[1]

            Menikah merupakan sunnah Rasul, untuk menjalani hubungan yang sah antara laki-laki dan perempuan. Pernikahan pada dasarnya harus dibangun diatas kesuakaan dan kecintaan, sehingga rumah tangga menjadi sakinah mawaddah dan penuh dengan rahmah. Namun jika hal tersebut tidak tercapai karena suatu hal, tidak ada ketenangan dan kedamaian dalam rumah tangga maka Islam mengajarkan agar saling menasehati, sehingga rumah tangga menjadi damai. Jika tidak mungkin juga bersatu dan hidup bersama, maka Islam memberikan jalan untuk berpisah dengan cara thalaq (bercerai).
            Suami yang telah menceraikan istrinya kurang dari tiga kali diperbolehkan untuk ruju’ (kembali) kepada istrinya sebelum habis masa iddahnya, tanpa dengan akad yang baru.
            Salah satu dari rukun nikah harus dengan akad ataupun ucapan menikahkan dan menerima nikah, ketika terjadi perceraian juga harus dengan kata-kata, demikian juga dengan ruju’ harus dengan ucapan juga.
Didalam Al-Qur’an Allah menjelaskan tentang perceraian :


Artinya : “ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik “ ( Q. S Al-Baqarah 229 ).
 
 
Artinya : “ Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) “. (Q.S Ath-Thalaq 1).
Dalam Hadits Nabi menjelaskan tentang thalaq :

ليس شيء من الحلال أبغض الى الله من ا الطلا ق ( رواه أبو دواد بأ سنا د صحيح )

Artinya : “ tidak ada sesuatau yang halal yang paling dibenci Allah dari thalaq “ ( H.R Abu Dawud dan Hakim ).
Perceraian tidak boleh dibuat main-main. Seorang suami yang menceraikan istrinya kemudian mengatakan bahwa ia hanya main-main atau tidak serius, maka tetap jatuh thalaqnya, karena masalah perceraian tidak boleh dijadikan sebagai senda gurau.
Dalam Hadits Nabi dijelaskan :

ثلا ث جد هن جد, و هز لهن جد : النكاح, و الطلاق , ولر جعة .

            Artinya : “ tiga hal sungguh melakukannya menjadi sungguh-sungguh dan bersenda gurau menjadi sungguh-sungguh : nikah, thalaq dan ruju’. ( H.R Ahmad, Abu Dawyd, Ibn Majah, at-Tirmidzi dan Al-Hakim).
            Pada dasarnya islam sangatlah menjaga agar laki-laki dan perempuan yang sudah menikah jangan sampai berpisah, kecuali karena kematian. Sehingga jika ada masalah dalam rumah tangga harus diselesaikan dengan baik, jika perlu dihadirkan orang ketiga untuk menyelesaikan masalah tersebut, baik dari keluarga suami istri atau orang yang dianggap mampu menyelesaikannya.
Namun demikian jika terjadi perselisihan dan pertikaian antara suami istri dan tidak ditemukan lagi jalan keluar kecuali cerai, maka suami hendaknya menjatuhkan thalaq satu saja jangan thalaq tiga sekaligus. Jika suami menceraikan istrinya langsung thalaq tiga dan muncul penyesalan maka tidak bisa ruju’ kecuali si isteri menikah dengan laki-laki lain atau yang disebut dengan muhallil. Kemudian , mereka berhubungan lalu suami menceraikannya, setelah habis iddahnya barulah suami pertamanya boleh menikahinya lagi. Allah SWT berfirman :

Artinya :   kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui “. ( Q. S Al-Baqarah 230 ).
Adapun rukun thalaq ada 5, yaitu : 1) muthliq (orang yang menceraikan), 2) shighah (lafal cerai), 3) mahal, 4) wilayah, 5) Qashad (sadar bukan mengigau atau mimpi ).
Disyaratkan bahwa orang yang menceraikan itu mesti mukallaf, maka tidak jatuh thalaq yang dilakukan anak-anak, orang gila, orang yang dipaksa, tertidur (mengigau atau bermimpi). Anak – anak boleh dinikahkan dengan anak-anak, dalam kajian fiqh ada istilah tawalli tharafain (menjadi wali dari dua belah pihak), misalnya seorang kakek memiliki dua orang cucu dari anak yang berbeda, cucu laki-laki dan perempuan. Ayah mereka sudah meninggal, sikakek boleh menikahkan cucu perempuannya dengan cucu laki-lakinya, ia yang mengucapkan ijab dan maqbulnya, karena ia wali dari kedua anak tersebut.
Orang yang mabuk ada dua macam :1) mabuk karena disengaja (ta’addi), 2) mabuk karena tidak sengaja. Orang yang mabuk dengan sengaja ketika mabuk itu ia menceraikan istrinya maka jatuh thalaqnya. Perkataan dan perbuatannya menjadi tanggung jawabnya, dan hilang akalnya tidak dipandang karena unsure kesengajaan untuk mabuk. Namun jika mabuk yang tidak disengaja maka tidak jatuh karena tidak ada unsure kesengajaan.
Mabuk adalah bagian dari dosa-dosa besar yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits-Hadits Nabi SAW, salah satu kemuliaan manusia dan menjadi pembeda dengan hewan adalah akalnya, jika akal dihilangkan dengan mabuk dan sebagainya maka hal itu akan menyebabkan manusia berbuat seperti hewan dan perkataannya tidak sopan.
Dalam perceraian ada dua bentuk lafadz. Bisa dengan menggunakan lafadz yang jelas (sharih) atau sindiran (lafadz kinayah).
Lafadz thalaq yang sharih ada tiga macam :
1.      الطلا ق
 
      Artinya : “ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. ( Q.S Al-Baqarah 229).

2.      الفراق
  
Artinya : “ apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik“ ( Q.S Ath-Thalaq 2).

3.      السراح
 
      Artinya : “ apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf,” (Q.S Al-Baqarah 231).
            Misal lafadz thalaq yang sharih adalah : engkau aku ceraikan, atau aku ceraikan engkau. Jika lafadz sharih yang digunakan suami untuk menceraikan istrinya maka secara langsung terlaksana thalaqnya meskipun tidak ada niat untuk menceraikannya.
            Lafadz thalaq yang kedua adalah kinayah yaitu lafadz thalaq yang biasa bisa ditafsirkan kepada maksud selain thalaq. Misalnya pergilah engkau kerumah orang tua mu, kalimat ini mengandung thalaq, ancaman, pisah tempat tinggal dan lain-lain. Jika suami mengatakan lafal kinayah maka untuk terlaksana atau tidaknya thalaq mesti dilihat kepada niat suami. Jika niatnya menceraikan maka jatuh thalaqnya, namun jika tidak ada niat menceraikan maka thalaqnya tidak terlaksana.
            Jika suami menulis surat atau sms yang isinya menceraikan istrinya, maka jika tulisan itu dibaca suami maka termasuk kepada lafal sharih, jika tidak maka termasuk lafadz kinayah. Orang yang bisu isyaratnya jika dipahami untuk menceraikan maka itu menjadi thalaq yang terlaksana.
            Jumlah thalaq sebanyak tiga kali. Ketika seorang menikah , maka ia diberikan hak thalaq sebanyak tiga kali. Hal ini bisa diumpamakan dengan seorang yang diberikan tiga buah batu kerikil, maka ia melemparkan satu maka berarti tinggal dua lagi, maka jika ia melemparkannya tiga sekaligus maka kerikil yang dimilikinya habis. Demikian juga dengan suami, ia diberikan hak untuk menceraikan istrinya sebanyak tiga kali, jika ia ceraikan sekali maka haknya tinggal dua, jika diveraikan tiga kali sekaligus maka habislah haknya.
Hukum menceraikan istri ada empat :
1.      Wajib, jika :
1)      Suami-istri mengutus utusan atau perwakilan untuk menyelesaikan pertikaian diantara mereka. Jika kedua utusan tersebut itu sepakat agar suami istri itu berpisah, maka suami wajib menceraikan istrinya. Hal ini karena suami telah mewakilkan penyelesaian masalahnya kepada wakil tersebut. Allah SWT berfirman :



Artinya : “  dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal ” . ( Q. S An-Nisa 35 ).

2)      Jika suami bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih, ini disebut ‘ila. Jika suami menggauli istrinya sebelum empat bulan, maka ia wajib membayar kafarat sumpat, akrena ia telah melanggar sumpahnya. Kafaratnya adalah memerdekan budak, atau puasa tiga hari atau member makan / pakaian kepada 10  fakir miskin. Jika ia tidak menggaulinya lebih dari empat bulan maka ia wajib menceraikan istrinya.

2.      Mustahab, jika :
1)      Suami menyia-nyiakan atau menzhalimi istrinya
2)      Istri tidak baik akhlaqnya, tentu setelah dinasehati dan sebagainya namun tidak ada perubahan. Dizaman Nabi pernah seorang suami mengadukan akhlaq istrinya yang menolak orang yang mengajaknya melakukan zina, lantas Nabi menyuruhnya untuk menceraikannya.

3.      Haram
1)      Thalaq bid’I yaitu suami menceraikan istrinya ketika haid atau dalam keadaan bersih yang sudah dipergauli. Ketika istri haid suami tidak boleh menceraikan istrinya karena akan memperlambat iddah si wanita. Istri dalam keadaan bersih yang sudah disetubuhi juga tidak boleh diceraikan karena kemungkinan ia hamil, hal ini dapat memperlambat iddah si wanita. Meskipun perbuatan menceraikan diatas haram, namun thalaq yang dilakukan suami tetap jatuh atau terlaksana.
4.      Makruh, hal ini merupakan hukum asal dari perceraian.
Thalaq tiga dengan satu lafal maka jatuh tiga, misalnya dengan mengatakan : “ aku ceraikan engkau dengan thalaq tiga “. Pendapat ini dipegangi oleh imam Madzhab yang empat, kebanyakan sahabat dan Tabi’in.



و الله تعا لى أ علم


[1] Makalah ini disampaikan oleh Al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy pada halaqah Mahasiswa PAI Semester V Univa Medan pada tanggal 30 Rabi’ul Awwal 1435 H bertepatan tanggal  1 Februari  2014 di Masjid Nurul Hidayah  Jl Garu II A. dan Makalah ini sebahagian besar merupakan pengajian yang disampaikan oleh Al-Fadhilatus – Syaikh Al-Hajj Ok Mas’ud.   seorang Ulama’ yang mana beliau merupakan murid dari Asy-Syaikh Arsyad Thalib Lubis, salah satu tokoh pendiri Al-Washliyah. Dan makalah ini ditulis dari kitab :
-          Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Al-Fazh Al-Minhaj, Jilid IV, oleh Asy-Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Al-Syarbaini
-          Al-Muhadzdzab lil imam abu Ishaq Asy-Syirazi, Ibrahim bin ‘Ali bin Yusuf bin Abdullah Asy-Syirazi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar