Sabtu, 22 Februari 2014

ASURANSI, HUKUM DAN PERMASALAHANNYA



ASURANSI, HUKUM, DAN PERMASALAHANNYA

Sehubungan dengan arus modernisasi dan perubahan sosial yang berkembang saat ini, tampaknya berimbas tidak hanya pada pola perilaku manusia dengan alam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga berpengaruh terhadap pengalaman hukum Islam. Hal ini disebabkan karena dinamika kehidupan sosial terus berkembang, sedangkan nash-nash hukum Islam terbatas dan sudah terputus dengan wafatnya Baginda Rasulullah saw. Akibatnya umat Islam terbagi dalam dua golongan yang saling kontradiktif. Satu pihak akan lebih leluasa berbuat, karena ketiadaan nash itu dengan dalih persoalan baru tidak ada nashnya. Sedangkan pihak lain berpendapat, meskipun persoalan baru tersebut tidak secara tersurat ditunjukkan hukumnya oleh nash,tetapi berusaha untuk mencari posisi persoalan tersebut dalam hukum-hukum Islam melalui Ijtihad.
Mayoritas Ulama’ menggunakan ijtihad sebagai solusi dalam menyelesaikan hukum masalah yang tidak ada nashnya. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan mereka terhadap produk hukum Ijtihad sebagai hukum yang bernuansa agama sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash.
Salah satu persoalan hukum yang tidak ada nashnya secara tersurat adalah Asuransi. Oleh sebab itu masalah asuransi dapat digolongkan sebagai masalah Ijtihadiyah. Berhubung karena masalah asuransi ini sangat luas dan banyak bahasannya, maka dalam tulisan ini hanya dibatasi pembahasan tentang pengertian asuransi dan hukumnya.

A.    Pengertian Asuransi
Menurut bahasa, asuransi adalah pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran, apabila terjadi sesuatu menimpa dirinya atau barang miliknya).
Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut Ta’min, penanggung disebut Mu’ammin dan tertanggung disebut Mu’amman lahu atau Musta’min.
Menurut istilah, asuransi adalah jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung kepada yang ditanggung untuk resiko kerugian sebagaimana yang diterapkan dalam polis (surat perjanjian) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan, kematian, atau kecelakaan lainnya dengan tanggungan membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap bulan.
Dalam pasal 246 KHUD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) diebutkan, bahwa asuransi adalah suatu perjanjian , dimana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberi penggantian kepadanya karena  suatu kerugian,kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak terduga.
Jadi pasal 246 tersebut mengatakan bahwa asuransi itu sebagai suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati suatu premi, mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari kerugian yang akan diderita karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Pihak penanggung atau penjamin adalah perusahaan asuransi. Jadi, dalam satu asuransi terdapat perjanjian antara kedua belah pihak dimana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uag premi dalam masa tertentu, lalu pihak yang dijamin akan membayar kerugian jika terjadi sesuatu pada diri si terjamin.
Setelah memperhatikan beberapa defini diatas, baik dari segi bahasa maupun istilah dan penjelasannya, maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi minimal terlibat dua pihak. Pihak pertama sanggup akan menanggung atau menjamin bahwa pihak lain mendapatkan penggantian dai suatu kerugian yang mungkin akan diderita, sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadinya atau belum dapat ditentukan saat akan terjadinya. Sebagai imbalan dalam pertanggungan inilah pihak yang ditanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak yang menanggung. Dari uang yang telah dibayarkan pihak tertanggung ini akan tetap menjadi milik pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa yang dimaksud tidak terjadi. Definisi atau pengertian asuransi yang telah disbeutkan diatas, adalah merupakan pengertian Asuransi Konvensional.  Sedangkan pengertian asuransi berdasarkan Syari’ah adalah sebagai berikut.
Asuransi Syari’ah adalah usaha kerjasama saling melindungi dan tolong menolong, diantara sejumlah orang dalam menghadapi sejumlah resiko melalui perjanjian yang sesuai dengan syari’ah. Dari defenisi tersebut nampak bahwa asuransi syari’ah bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut Ta’awun , yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong menolong atas dasar Ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi syari’ah dalam menghadapi malapetaka (resiko).oleh sebab itu, premi pada asuransi syari’ah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang terdiri atas dana tabungan, biaya, dan tabarru. Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi syari’ah dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-Mudharabah) dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan serta alokasi bagi hasil akan dikembalikan / diserahkan kepada para peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik klaim berupa tunai, maupun klaim manfaat asuransi, sedangkan tabarru adalah derma / dana kebajikan yang diberikan oleh para peserta asuransi yang sewaktu-waktu akan digunakan untuk membayar manfaat asuransi syari’ah bagi peserta yang dana tabungannya belum mencukupi atau lebih kecil dari manfaat asuransi yang semestinya diterima. Manfaat asuransi syari’ah adalah jumlah dana yang dibayarkan perusahaan kepada pemegang polis (pihak yang mengadakan perjanjian dengan perusahaan).
Dari beberapa pengertian dan penjelasan yang telah dipaparkan, tampak bahwa pada asuransi syari’ah dan asuransi konvensional terdapat berbagai perbedaan sebagai berikut :
1.      Kepemilikan dana
Dana yang terkumpul dari nasabah (premi) pada asuransi Syari’ah merupakan milik peserta, dan perusahaan hanya memegang amanah. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul pada nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas untuk menentukan investasinya.
2.      Investasi Dana
Pada asuransi Syari’ah , investasi dana berdasar Syari’ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Pada asuransi konvensional, investasi dan berdasarkan bunga.
3.      Akad
Pada asuransi syari’ah, akadnya atas dasar tolong-menolong. Pada asuransi konvensional, akadnya adalah akad konvensional (tijary).
4.      Pembayaran klaim
Pada asuransi syari’ah, pembayaran klaim diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta, yang sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah. Pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambil dari rekening dana perusahaan.
5.      Keuntungan
Pada asuransi syari’ah keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta (sesuai prinsip bagi hasil / mudharabah ). Pada asuransi konvensional, keuntungan seluruhnya milik perusahaan.
6.      Dewan pengawas Syari’ah (DPS)
Pada asuransi syari’ah, ada dewan pengawas syari’ah (DPS) yang berfungsi mengawasi manajemen, produk, dan investasi dana. Sedangkan pada asuransi konvensional tidak ada ewan Pengawas Syari’ah.

B.     Hukum Asuransi
Dari penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum Asuransi Syari’ah hukumnya mubah, sama seperti Bank Syari’ah.sementara Asuransi yang bersifat Konvensional sangat jelas sekali keharamannya. Karena asuransi tersebut berbdea dengan asuransi syari’ah. Dalam asuransi yang bersifat konvensional ini sifatny adalah tukar menukar antar premi yang dibayar oleh tertanggung dengan jumlah yang dijanjikan untuk dibayar oleh penanggung akibat suatu peristiwa yang menimpa sitertanggung dan suatu waktu bisa terjadi perbedaan yang amat mencolok antara premi yang dibayar dengan jumlah yang harus dibayar sipenanggung.
Asy-Syaikh Abu Zahra beliau berpendapat bahwa asuransi konvensional (Tijary) ini hukumnya haram karena kontrak tersbeut, adalah berupa perjanjian  tukar-menukar yang mengandung gharar (untung-untungan / ketidak pastian), dimana pihak tertanggung tidak dapat memastikan berapa jumlah premi yang harus dibayar dan masing-masing tidak dapat memastikan terjadi atau tidaknya atau kapan terjadinya. Ketidak pastian / gharar seperti ini terjadi dalam suatu perjanjian tukar-menukar, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits yag diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Malik, Ahmad, Tirmidzi, al-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan al-Daramy dari Abu Hurairah sebagai berikut :
ننهى رسول الله صلعم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر ( رواه كتب الستة )
Artinya : “ Rasulullah saw melarang jual beli hashah (lempar kerikil) dan jual beli gharar“.
Abu Zahrah menggolongkan asuransi tijary ini kedalam kelompok akad yang terlarang karena sifatnya merupakan untung-untungan, sehingga merupakan judi (al-Qimar) yang haram hukumnya. Dalam asuransi tijary ini juga, tampak jelas sifat tidak adilnya, karena dana (premi) yang terkumpul dari nasabah menjadi milik perusahaan dan perusahaan bebas menentukan investasinya, tanpa memperhatikan halal dan haram dalam usaha tersebut dan keuntungan seluruhnya menjadi milik perusahaan. Sedangkan bagi nasabah sebagai pembayar premi, bila tidak terjadi klaim maka ia tidak mendapatkan sesuatu dari dana / premi tersebut.
Adapun Ulama’ yang berpendapat bahwa asuransi konvensional termasuk segala macam bentuknya dan cara operasi hukumnya haram, antara lain asy-Syaikh Wahbah az-zuhaily, asy-Syaikh Yusuf al-Qardhawy, asy-Syaikh Sayyid Sabiq, asy-Syaikh Abdullah al-Qalqili dan asy-Syaikh Bakhit al-Muthi’i. Asuransi diharamkan karena beberapa alasan, yakni :
1.      Asuransi mengandung unsur perjudian yang dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala Q.S al-Baqarah 219 dan al-Maidah 90.
2.      Asuransi mengandung ketidak pastian.
3.      Asuransi mengandung unsur riba yang dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala Q.S al-Baqarah 278.
4.      Asuransi mengandung unsur eksploitasi yang bersifat menekan.
5.      Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang yang tidak secara tunai (Akad Sharf), dan
6.      Asuransi obyek bisnisnya digangtungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Allah.

By : Abdullah al-Qurthubi az-Zuhaily / Sumitra Nurjaya al-Jawiy

Rujukan :
-         Asy-Syaikh Manna’ Khali al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Ismali, Beirut, Dar al-Fikr, h. 58-63.
-         Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, h. 54.
-         Jubran Mas’ud, al-Ra’id Mu’jam Lughawy ‘Ashry, Beirut, Dar al-Islami li al-Malayin, h.30.
-         Siti Soemantri Hartono, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan, Seksi Hukum UGM, Yogyakarta,h. 83.
-         Hasil Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional (MUI) pada hari senini, Tanggal 15 Muharram 1422 H/9 April 2001 M di Jakarta.
-         Asy-Syaikh Muhamamd Abd Mu’in al-Jammal, Mansu’atu al-Iqtshadi al-Islamy al-Qahirah, Dar al-Kitab al-Mishry,h. 359.
-         Asy-Syaikh Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa ‘Adillatuhu, Beirut, Dar al-Fikr, h. 442-445.


والله اعلم

Tidak ada komentar:

Posting Komentar