ASURANSI, HUKUM, DAN PERMASALAHANNYA
Sehubungan dengan arus modernisasi
dan perubahan sosial yang berkembang saat ini, tampaknya berimbas tidak hanya
pada pola perilaku manusia dengan alam kehidupannya sehari-hari, tetapi juga
berpengaruh terhadap pengalaman hukum Islam. Hal ini disebabkan karena dinamika
kehidupan sosial terus berkembang, sedangkan nash-nash hukum Islam terbatas dan
sudah terputus dengan wafatnya Baginda Rasulullah saw. Akibatnya umat Islam
terbagi dalam dua golongan yang saling kontradiktif. Satu pihak akan lebih
leluasa berbuat, karena ketiadaan nash itu dengan dalih persoalan baru tidak
ada nashnya. Sedangkan pihak lain berpendapat, meskipun persoalan baru tersebut
tidak secara tersurat ditunjukkan hukumnya oleh nash,tetapi berusaha untuk
mencari posisi persoalan tersebut dalam hukum-hukum Islam melalui Ijtihad.
Mayoritas Ulama’ menggunakan ijtihad
sebagai solusi dalam menyelesaikan hukum masalah yang tidak ada nashnya. Hal
ini dapat dilihat dari pengakuan mereka terhadap produk hukum Ijtihad sebagai
hukum yang bernuansa agama sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash.
Salah satu persoalan hukum yang tidak
ada nashnya secara tersurat adalah Asuransi. Oleh sebab itu masalah asuransi
dapat digolongkan sebagai masalah Ijtihadiyah. Berhubung karena masalah
asuransi ini sangat luas dan banyak bahasannya, maka dalam tulisan ini hanya
dibatasi pembahasan tentang pengertian asuransi dan hukumnya.
A.
Pengertian
Asuransi
Menurut bahasa, asuransi adalah
pertanggungan (perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu membayar iuran dan
pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar
iuran, apabila terjadi sesuatu menimpa dirinya atau barang miliknya).
Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut
Ta’min, penanggung disebut Mu’ammin dan tertanggung disebut Mu’amman lahu atau
Musta’min.
Menurut istilah, asuransi adalah
jaminan atau pertanggungan yang diberikan oleh penanggung kepada yang
ditanggung untuk resiko kerugian sebagaimana yang diterapkan dalam polis (surat
perjanjian) bila terjadi kebakaran, kecurian, kerusakan, kematian, atau
kecelakaan lainnya dengan tanggungan membayar premi sebanyak yang ditentukan
kepada penanggung tiap bulan.
Dalam pasal 246 KHUD (Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang) diebutkan, bahwa asuransi adalah suatu perjanjian ,
dimana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan
suatu premi untuk memberi penggantian kepadanya karena suatu kerugian,kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak
terduga.
Jadi pasal 246 tersebut mengatakan
bahwa asuransi itu sebagai suatu perjanjian dimana penanggung dengan menikmati
suatu premi, mengikat dirinya terhadap tertanggung untuk membebaskan dari
kerugian yang akan diderita karena suatu kejadian yang tidak pasti.
Pihak penanggung atau penjamin adalah
perusahaan asuransi. Jadi, dalam satu asuransi terdapat perjanjian antara kedua
belah pihak dimana pihak yang dijamin diwajibkan membayar uag premi dalam masa
tertentu, lalu pihak yang dijamin akan membayar kerugian jika terjadi sesuatu
pada diri si terjamin.
Setelah memperhatikan beberapa defini
diatas, baik dari segi bahasa maupun istilah dan penjelasannya, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam suatu perjanjian asuransi minimal terlibat dua pihak.
Pihak pertama sanggup akan menanggung atau menjamin bahwa pihak lain
mendapatkan penggantian dai suatu kerugian yang mungkin akan diderita, sebagai
akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadinya atau belum
dapat ditentukan saat akan terjadinya. Sebagai imbalan dalam pertanggungan
inilah pihak yang ditanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada pihak
yang menanggung. Dari uang yang telah dibayarkan pihak tertanggung ini akan
tetap menjadi milik pihak yang menanggung, apabila kemudian ternyata peristiwa
yang dimaksud tidak terjadi. Definisi atau pengertian asuransi yang telah
disbeutkan diatas, adalah merupakan pengertian Asuransi Konvensional. Sedangkan pengertian asuransi berdasarkan
Syari’ah adalah sebagai berikut.
Asuransi Syari’ah adalah usaha
kerjasama saling melindungi dan tolong menolong, diantara sejumlah orang dalam
menghadapi sejumlah resiko melalui perjanjian yang sesuai dengan syari’ah. Dari
defenisi tersebut nampak bahwa asuransi syari’ah bersifat saling melindungi dan
tolong menolong disebut Ta’awun , yaitu prinsip hidup saling melindungi dan
tolong menolong atas dasar Ukhuwah Islamiyah antara anggota peserta asuransi
syari’ah dalam menghadapi malapetaka (resiko).oleh sebab itu, premi pada
asuransi syari’ah adalah sejumlah dana yang dibayarkan oleh peserta yang
terdiri atas dana tabungan, biaya, dan tabarru. Dana tabungan adalah dana
titipan dari peserta asuransi syari’ah dan akan mendapat alokasi bagi hasil (al-Mudharabah)
dari pendapatan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan
serta alokasi bagi hasil akan dikembalikan / diserahkan kepada para peserta
apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik klaim berupa tunai,
maupun klaim manfaat asuransi, sedangkan tabarru adalah derma / dana kebajikan
yang diberikan oleh para peserta asuransi yang sewaktu-waktu akan digunakan
untuk membayar manfaat asuransi syari’ah bagi peserta yang dana tabungannya
belum mencukupi atau lebih kecil dari manfaat asuransi yang semestinya
diterima. Manfaat asuransi syari’ah adalah jumlah dana yang dibayarkan
perusahaan kepada pemegang polis (pihak yang mengadakan perjanjian dengan
perusahaan).
Dari beberapa pengertian dan
penjelasan yang telah dipaparkan, tampak bahwa pada asuransi syari’ah dan
asuransi konvensional terdapat berbagai perbedaan sebagai berikut :
1.
Kepemilikan dana
Dana yang
terkumpul dari nasabah (premi) pada asuransi Syari’ah merupakan milik peserta,
dan perusahaan hanya memegang amanah. Pada asuransi konvensional, dana yang
terkumpul pada nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Perusahaan bebas untuk
menentukan investasinya.
2.
Investasi Dana
Pada asuransi
Syari’ah , investasi dana berdasar Syari’ah dengan sistem bagi hasil
(mudharabah). Pada asuransi konvensional, investasi dan berdasarkan bunga.
3.
Akad
Pada asuransi
syari’ah, akadnya atas dasar tolong-menolong. Pada asuransi konvensional,
akadnya adalah akad konvensional (tijary).
4.
Pembayaran klaim
Pada asuransi
syari’ah, pembayaran klaim diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh
peserta, yang sejak awal sudah diikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong
menolong bila terjadi musibah. Pada asuransi konvensional pembayaran klaim
diambil dari rekening dana perusahaan.
5.
Keuntungan
Pada asuransi
syari’ah keuntungan dibagi antara perusahaan dengan peserta (sesuai prinsip
bagi hasil / mudharabah ). Pada asuransi konvensional, keuntungan seluruhnya
milik perusahaan.
6.
Dewan pengawas Syari’ah (DPS)
Pada asuransi
syari’ah, ada dewan pengawas syari’ah (DPS) yang berfungsi mengawasi manajemen,
produk, dan investasi dana. Sedangkan pada asuransi konvensional tidak ada ewan
Pengawas Syari’ah.
B.
Hukum
Asuransi
Dari
penjelasan yang sudah dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum
Asuransi Syari’ah hukumnya mubah, sama seperti Bank Syari’ah.sementara Asuransi
yang bersifat Konvensional sangat jelas sekali keharamannya. Karena asuransi
tersebut berbdea dengan asuransi syari’ah. Dalam asuransi yang bersifat
konvensional ini sifatny adalah tukar menukar antar premi yang dibayar oleh
tertanggung dengan jumlah yang dijanjikan untuk dibayar oleh penanggung akibat
suatu peristiwa yang menimpa sitertanggung dan suatu waktu bisa terjadi
perbedaan yang amat mencolok antara premi yang dibayar dengan jumlah yang harus
dibayar sipenanggung.
Asy-Syaikh
Abu Zahra beliau berpendapat bahwa asuransi konvensional (Tijary) ini hukumnya
haram karena kontrak tersbeut, adalah berupa perjanjian tukar-menukar yang mengandung gharar
(untung-untungan / ketidak pastian), dimana pihak tertanggung tidak dapat
memastikan berapa jumlah premi yang harus dibayar dan masing-masing tidak dapat
memastikan terjadi atau tidaknya atau kapan terjadinya. Ketidak pastian /
gharar seperti ini terjadi dalam suatu perjanjian tukar-menukar, sebagaimana
yang disebutkan dalam Hadits yag diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Malik,
Ahmad, Tirmidzi, al-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan al-Daramy dari Abu
Hurairah sebagai berikut :
ننهى رسول
الله صلعم عن بيع الحصاة وعن بيع الغرر ( رواه كتب الستة )
Artinya
: “ Rasulullah saw melarang jual beli hashah (lempar kerikil) dan jual beli
gharar“.
Abu
Zahrah menggolongkan asuransi tijary ini kedalam kelompok akad yang terlarang
karena sifatnya merupakan untung-untungan, sehingga merupakan judi (al-Qimar)
yang haram hukumnya. Dalam asuransi tijary ini juga, tampak jelas sifat tidak
adilnya, karena dana (premi) yang terkumpul dari nasabah menjadi milik perusahaan
dan perusahaan bebas menentukan investasinya, tanpa memperhatikan halal dan
haram dalam usaha tersebut dan keuntungan seluruhnya menjadi milik perusahaan. Sedangkan
bagi nasabah sebagai pembayar premi, bila tidak terjadi klaim maka ia tidak
mendapatkan sesuatu dari dana / premi tersebut.
Adapun
Ulama’ yang berpendapat bahwa asuransi konvensional termasuk segala macam
bentuknya dan cara operasi hukumnya haram, antara lain asy-Syaikh Wahbah
az-zuhaily, asy-Syaikh Yusuf al-Qardhawy, asy-Syaikh Sayyid Sabiq, asy-Syaikh
Abdullah al-Qalqili dan asy-Syaikh Bakhit al-Muthi’i. Asuransi diharamkan
karena beberapa alasan, yakni :
1.
Asuransi mengandung unsur
perjudian yang dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala Q.S
al-Baqarah 219 dan al-Maidah 90.
2.
Asuransi mengandung ketidak pastian.
3.
Asuransi mengandung unsur riba
yang dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala Q.S al-Baqarah 278.
4.
Asuransi mengandung unsur
eksploitasi yang bersifat menekan.
5.
Asuransi termasuk jual beli
atau tukar menukar mata uang yang tidak secara tunai (Akad Sharf), dan
6.
Asuransi obyek bisnisnya
digangtungkan pada hidup dan matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir
Allah.
By
: Abdullah al-Qurthubi az-Zuhaily / Sumitra Nurjaya al-Jawiy
Rujukan
:
-
Asy-Syaikh Manna’ Khali
al-Qaththan, Tarikh al-Tasyri’ al-Ismali, Beirut, Dar al-Fikr, h. 58-63.
-
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, h. 54.
-
Jubran Mas’ud, al-Ra’id Mu’jam
Lughawy ‘Ashry, Beirut, Dar al-Islami li al-Malayin, h.30.
-
Siti Soemantri Hartono, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan, Seksi Hukum UGM,
Yogyakarta,h. 83.
-
Hasil Rapat Pleno Dewan Syari’ah
Nasional (MUI) pada hari senini, Tanggal 15 Muharram 1422 H/9 April 2001 M di
Jakarta.
-
Asy-Syaikh Muhamamd Abd Mu’in
al-Jammal, Mansu’atu al-Iqtshadi al-Islamy al-Qahirah, Dar al-Kitab
al-Mishry,h. 359.
-
Asy-Syaikh Wahbah al-Zuhaily,
al-Fiqhu al-Islamy wa ‘Adillatuhu, Beirut, Dar al-Fikr, h. 442-445.
والله
اعلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar