Rabu, 05 Maret 2014

SEKILAS TENTANG SALAFI WAHABI DAN KEKELIRUAN MEREKA DALAM MEMAHAMI ISLAM



SEKILAS TENTANG SALAFI WAHABI
DAN KEKELIRUAN MEREKA DALAM MEMAHAMI ISLAM

            Kata “salafi” merupakan sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf yang mana secara bahasa bermakna “orang-orang yang hidup sebelum zaman kita”[1].  Adapun secara terminologis, as-salaf dapat dimaknai sebagi generasi tiga abad pertama sepeninggalan Rasullah saw, yakni para sahabat Nabi saw, kemudian para tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat), dan tabi at-tabi’in (pengikut Nabi setelah masa tabi’in). Oleh sebab itu seorang salafi adalah seseorang yang megikuti jalan para Nabi saw, tabi’in dan tabi at-tabi’in dalam seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka[2].
            Namun demikian, saat ini penggunaan istilah salafi menjadi tercemari. Kata salafi-karena propaganda dan klaim yang begitu gencar-saat ini secara khusus mengarah kepada kelompok gerakan Islam tertentu. Lebih dari itu, kelompok tersebut mengaku-ngaku sebagai satu-satunya kelompok salaf. Dan yang lebih bahayanya, kelompok ini cenderung menyimpang dari ajaran Islam dari sejak zaman Rasulullah saw hingga saat ini.
            Siapakah sebenarnya kelompok yang mengklain sebagai salafi yang akhir-akhir ini mulai marak tersebut? Ketahuilah bahwa kelompok yang sekarang mengaku-ngaku sebagai salafi ini, dahulu dikenal dengan nama Wahabi . sewaktu di jazirah arab, mereka lebih dikenal dengan Wahabiyah Hanbaliyah. Namun, ketika diekspor keluar Saudi, mereka mengatas namakan dirinya dengan salafi[3].
            Asy-Syaikh Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi mengungkapkan bahwa Wahabi berganti baju menjadi salafi atau terkadang “Ahlussunnah” yang seringnya tanpa di ikuti dengan kata “wal-Jama’ah” karena mereka merasa risih dengan penisbatan tersebut dan mengalami banyak kegagalan dalam da’wahnya[4].
            Pada hakikatnya mereka bukanlah salafi atau pengikut salaf. Mereka lebih tepat jika disebut Salafi Wahabi, yakni pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab yang lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia tahun 1115 H (1703 M) dan wafat tahun 1206 H (1792 M). Pendiri wahabi ini sangat mengagumi ibnu Taimiyah, seorang Ulama’ kontroversial yang hidup di abad ke-8 H dan banyak mempengaruhi cara berfikirnya[5].
            Sebagai sebuah bahasa, kata “salaf” yang berarti pendahulu memang sudah lama muncul dalam khasanah perbendaharaan kata dalam agama Islam, bahkan sejak zaman Nabi saw. Akan tetapi kata salaf itu tidak menunjuk pada arti “sekelompok orang yang memiliki keyakinan sama” atau “sebuah madzhab dalam Islam”. Jadi, tidak ada satupun riwayat shahih yang merangkan bahwa ada diantara para sahabat Nabi saw, para Imam Mujtahid (Imam Abu Hanifah, Imam  Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Imam Tsauri, Imam Daud ad-Dzahiri dan lainnya), dan imam para ahli Hadits (seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam at-Tirmidzi) yang menyebut diri mereka dan para pengikutnya sebagai kelompok salafi.
            Lalu dari manakah munculnya istilah “salafi” untuk menggelari orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai satu-satunya penerus ajaran as-Salafu ash-Shalih (yakni para sahabat, Tabi’in dan Tabi’ at-Tabi’in)? Yang jelas, bukan dari sahabat Nabi saw, bukan dari para Ulama salaf terdahulu, bahkan bukan pula dari para Imam ahli Hadits. Nasaruddin al-Albani lah yang pertama kali mempopulerkan istilah ini, sebagaimana terekam dalam sebuah dialognya dengan salah satu pengikutnya, yaitu Abdul Halim Abu Syuqqah pada bulan juli 1999/Rabi’ul Akhir 1420 H[6].
            Salafi Wahabi mengklaim bahwa dalam memahami al-qur’an dan Sunnah, umat Islam harus berdasarkan “pemahaman salaf” dan wajib mengikuti Madzhab Salaf. Sadarilah wahai umat Islam, klaim mereka ini mengandung dua kekeliruan besar.
            Kekeliruan pertama,sesungguhnya para salaf tidak pernah sama dalam memahami berbagai macam masalah agama yang begitu kompleks (banyak). Mereka tidak pernah berada dalam satu Madzhab hingga sah untuk dikatakan “Madzhab Salaf”, atau “pemahama salaf”, atau wajib memahami perkara berdasarkan “pemaham salaf”. Dalam kitab-kitab Hadits dan Atsar, semisal kitan al-Mushannaf  karya al-Hafidz Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah, terdapat begitu banyak contoh-contoh perbedaan para salaf dalam memahami al-Qur’an maupun sunnah, lantas salaf yang bagaimana yang dimaksud “kaum salafi wahabi” dengan mengatakan kembalikan kepada femahaman salaf, sementara Ulama Salaf saja berbeda-beda dalam menentukan hukum-hukum ke-Islaman. Maka disinilah letak kesalahan besar “Salafi Wahabi”.
            Kekeliuran kedua,dalam al-Qur’an maupun Sunnah tidak ada satu dalil pun yang mewajibkan kita untuk memahami sesuatu dengan “pemahaman Salaf”. Al-Qur’an maupun Sunnah tidak menganjurkan kita untuk menanggalkan akal, juga tidak mewajibkan kita untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman orang lain. Bahkan teks-teks al-Qur’an dan Sunnah dengan begitu gamblang dan jelas memerintahkan kita secara langsung untuk memahami segala perintah Allah dan larangan-Nya tanpa melihat perbedaan, lihatlah firman Allah swt tentang “Ya ayyuhal-ladzina amanu(Wahai orang-orang yang beriman)”. Redaksi ayat itu bersifat umum, dalam arti ditujukan kepada semua umat Islam yang beriman, termasul salaf , Khalaf, umat Islam terdahulu, maupun umat Islam belakangan yang hidup sampai hari kiamat. Allah tidak mengatakan “Ya Ayyuhas Salaf/Salafi” tapi Allah mengatakan “Ya Ayyuhal-Ladzina amanu”. Selagi sesorang bisa sampai kepada derajat pemahaman yang benar dan menguasai berbagai ilmu yang diperlukan untuk memahami al-Qur’an dan Sunnah, ia tidak perlu mengikuti pemahaman salaf apa lagi salafi wahabi.
            Sekali lagi , tidak ada yang namanya “Madzhab Salaf”. Bagaimana mungkin Salafi Wahabi itu mewajibkan umat Islam untuk mengikuti akidah salaf ? sementara salaf itu dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah memiliki pendapat yang beragam. Lantas salaf seperti apa yang mereka maksud? Bagaimana mungkin mereka mengharuskan kita untuk mengikuti Madzhab Salaf, kalau nama “Madzhab Salaf” saja tidak pernah ada.
            Anehnya, jika kita cermati secara teliti, kita akan melihat bahwa orang-orang yang mengajak kepada “pemahaman salaf” itu melarang umat Islam untuk mengikuti pemahaman Imam-Imam Madzhab yang empat (Abu Hanifah, Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad). Sebaliknya , mereka malah menganjurkan untuk mengikuti atau bertaqlid kepada pemahaman mereka, atau jika tidak , kepada pemahaman orang-orang yang hidup setelah tiga abad pertama, yakni pemahaman Ibnu Abdul Wahab, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, al-Albani, Ibnu Fauzan dan lain sebagainya. Oleh karena itu,hakikatnya mereka bukan penganjur ajaran salaf, mereka lebih layak disebut dengan penganjur ajaran Salafi Wahabi.
            Selain mengikuti pendapat Ibnu Abdul Wahab, mereka juga mengikuti Ibnu taimiyah yang hidup di abad ke-tujuh hijriah. Apakah Ibnu Taimiyah seorang salaf? Tentu bukan, karena dia hidup setelah tujuh ratus tahun masa Rasulullah saw. Namun anehnya, mereka selalu mengklaim mengikuti salaf dan menamakan diri dengan salafi. Padahal sesungguhnya masih lebih salafi para pengikut imam Madzhab,seperti mengikuti Madzhab Imam Abu Hanifah, Malik, atau Syafi’i dari pada mereka sendiri yang mengaku-ngaku SALAFI. Sebab, para pengikut imam Madzhab itu benar-benar mengikuti Ulama Salaf (yakni para pendiri Madzhab tersebut).
            Maka dari pada itu hanyatalah bagi kita bahwa salafi bukan memahami masalah agama dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka memahami agama dengan mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahab dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Segeralah bertaubat Wahai “SALAFI WAHABI”.
            Bilal bin Sa’ad pernah berkata : “ Apabila engkau melihat seseorang bersikap keras kepala, suka bertengkar dan membanggakan pendapatnya, maka sudah sempurnalah kerugiaannya”.

والله اعلم
           


[1]Asy-Syaikh Abu al-Fadhl Muhammad Ibnu Manzhur , Qamus Lisan al-Arab, Dar as-Shadir, Beirut, Lebanon 1410 H, cet 1, entri sa-la-fa, Jilid 6, h. 330.
[2]Dari kata ini kita kemudian sering mendengar kata bentukan lainnya, seperti Salafiyah (yang berarti ajaran atau faham salaf) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan bentuk dasar dari kata salafi.
[3] Asy-Syaikh Hasan bin ‘Ali as-Segaf , as-Salafiyyah al-Wahabiyyah, Dar al-Imam ar-Rawwas, Beirut, Lebanon, h.20.
[4]Asy-Syaikh Prof. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, as-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami, Dar al-Fikr, Damaskus, Syiria 1996.
[5]Asy-Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazhahib al-Islamiyah al-Fiqhiyah, Dar al-Fikr al-Arabi, Cairo,h.187.
[6]Lihat Majalah as-Sunnah edisi 06/IV/1420,h.20-25.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar