Senin, 10 Maret 2014

SEHARUSNYA ANDA BANGGA MENJADI SEORANG MUSLIM



SEHARUSNYA ANDA BANGGA
 MENJADI SEORANG MUSLIM

بسم الله الرحمن الرحيم . الحمد لله رب العلمين , اللهم صلى على سيدنا محمد , وعلى اله سيدنا محمد
            Dikisahkan dari kitab al-Bidayah Wa an-Nihayah Karya al-Imam Ibnu Katsir dan dari kitab Tarikh at-Thabari :
            Kedua pasukan telah siaga. Pihak persia telah meminta Islam mengirimkan utusan. Untuk menyambutnya, disiapkan dekorasi uper wah dari berbagai pernak pernik yang luar biasa mahalnya. Untuk alas penyambutan, bukan sekedar karpet merah, tapi permadani sutra dan bantal-bantal yang empuk. Barangkali, tujuannya adalah agar si utusan dari Islam merasa terkagum-kagum dan minder saat membandingkan dirinya, lalu rasa minder itu bisa ia bawa pulang untuk ditularkan kepada pasukan Muslim pada saat itu.
            Yang ditunggu tiba yaitu utusan dari pasukan Islam, seorang laki-laki negro dengan baju perang, tombak dan seekor kuda pendek. Dia adalah Rib’i bin Amir Radhiyallahu Anhu. Meski begitu, yang dilakukannya benar-benar membuat para penyambut di kerajaan rum menjadi jengkel, sengaja kudanya diberhentikan diujung permadani hingga menginjaknya.
            Para Body Guard Rustum, paglima persia, membentak, “lepaskan senjatamu”!. Dengan dingin ia menjawab, “ aku tidak pernah berniat mendatangi kalian, tapi kalianlah yang mengundangku. Jika kalian memerlukanku, biarlah aku masuk seperti ini, jika tidak aku akan kembali “. Ujar Rib’i bin Amir Radhiyallahu Anhu.
            Rustum (Raja Persia) berujar, “Biarkan ia masuk”. Ia berjalan dan mengarahkan ujung tombaknya kebawah hingga membuat lubang-lubang pada bantal – bantal disekitarnya. Apa yang membawa kalian kemari? Tanya Rustum. Rib’i bin Amir Radhiyallahu Anhu menjawab : “ Allah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju keluasan-Nya, dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan al-Islam.....”.
            Dialog terus berlanjut dan rustum tampak kagum dengan utusan yang dihadapannya. Melihat itu yang para pengawal Rustum coba menegur supaya tidak terpengaruh oleh si Negro “Rib’i bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu”, kemudian mereka berkata kepada Rustum : “ lihatlah bagaimana ia berpakaian “. Kemudian Rustum menjawab : “ Celakalah kalian ! Janganlah kalian melihat kepada pakaian, akan tetapi lihatlah kepada pendapat, perkataan, dan jalan hidupnya ! sesungguhnya orang-orang Islam menganggap ringan masalah pakaian dan makanan, tetapi mereka sangat menjaga harga diri mereka.
            Dalam kisah di atas Rib’i r.a bukan bersikap arogan dan menihilkan akhlaq. Kondisi saat itu sedang perang. Dan dalam perang, perang mental (psywar) bukanlah aspek yang patut diremehkan. Dengan sikap dari Rib’i bin Amir r.a serangan mental musuh pun gagal total. Sikap yang mencerminkan izzatunnafsi (kemulian diri), percaya diri dan keyakinan bahwa ISLAM yang dimilikinya jaul lebih mulia dari pada semua yang mereka perlihatkan, kemewahan diatas kekufuran dan kefasikan tak ubahnya kain sutra yang dibungkuskan kepada mayat yang busuk.
            Itulah Izzah yang semestinya dimiliki atau diwarisi oleh setiap Muslim. Sayangnya karakter Rib’i bin Amir saat ini seperti punah. Tidak sedikit umat Islam yang justru minder dengan apa yang ada didalam  Islam dan silau dengan yang lain. Krisis percaya diri menggejala dalam hal pemikiran, peradaban, bahkan budaya dan moralitas. Kebanyakan malah beramai-ramai mengadopsi pemikiran barat, peradaban dan kebudayaannya, bahkan nilai dan ukuran moralnya, seakan-akan Islam miskin dengan semua itu, atau kalaupun ada dianggap sudah usung.
            Kondisi ini semakin kritis, kekadar untuk menunjukkan identitas diri dan syiar kepada sesama muslim sekalipun merasa minder. Untuk berjilbab, menghidupkan sunnah Nabi saw, shalat berjama’ah dimasjid (bagi laki-laki), rajin mengaji, menjadi aktivis masjid, tidak sedikit yang enggan karena minder. Seharusnya mereka belajar dari kisah Rib’i bin Amir Radhiyallahu Ahnu. Sudah sepatutnya lah kita saat ini untuk berani menunjukkan identitas kita sebagai seorang Muslim maupun Muslimah sejati dengan membuang jauh-jauh rasa minder dan sebagainya.
            Minder atau kurang percaya diri disebut juga dha’fu ats tsiqqah bin nafsi. Suatu perasaan yang memandang rendah dan kecil terhadap apa yang dimiliki, dibandingkan dengan yang ada pada orang lain atau tuntutan situasi.
            Jika seorang Muslim atau Muslimah merasa minder dengan ke-Islaman dan Syi’arnya, maka pasti ada yang salah dengan persepsinya tentang Islam. Ia memandang pasti ada yang kurang dengan Islam dan atau ada yang lebih baik dari Islam dan lebih pantas dibanggakan hingga mampu menumbuhkan rasa percaya diri. Errornya terletak pada persepsinya, bukan Islamnya. Sebab Islam adalah sesuatu yang tinggi nilainya dan lebih dari cukup sekadar untuk menumbuhkan  rasa percaya diri pada seseorang. Lebih dari motor atau mobil mewah yang membuat pengendaranya mendongak saat mengendarainya, lebih dari gelar akademis yang bisa membuat pemiliknya pede tampil dimana-mana dan ingin gelarnya selalu dipajang, lebih dari muka rupayan yag membuat pemiliknya bisa pede bertemu seiapa saja, dan lebih dari segalanya seperti yang kita temukan pada sosok seperti Rib’i bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu.
الاسلام يعلو ولايعلى عليه
            Artinya : “ Islam itu tinggi dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggiannya “ (H.R ad-Daruquthni dari Sahabat ‘Aidh bin ‘Amru).
            Islam adalah satu-satunya agama yang diridhai Allah, Allah Ta’ala berfirman :
ان الدين عندالله الأسلام
            Artinya : “ Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam “ (Q.S ali-Imran 19).
            Islam adalah satu-satunya jalan keselamatan dan kemuliaan, keluhuran yang tertinggi yang tidak tertandingi nilainya. Agama yang menyentuh berbagai aspek kehidupan dan terdapat kebaikan dan mashlahat dalam setiap detail ajarannya. Dengan begitu, kesalahan persepsi diatas disebabkan oleh minimnya pengetahuan sesorang terhadap Islam serta dangkalnya ma’rifat (pengenalan) terhadap nilai-nilai mulia yang terkandung didalam ajaran Islam.
            Tapi itulah relaita umat Islam hari ini. Kemuliaan Islam justru terhalangi oleh umatnya sendiri. Kiranya benarlah apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh : “ al-Islamu Mahjubun bil Muslimin “ , Islam itu justru terhalang sinar kemuliaannya oleh kaum Muslimin sendiri. Malah kaum Muslimin/Muslimah sibuk mengais-ais nilai pemikiran dari budaya dan TONG SAMPAH peradaban kafir dari pada menggali emas dan mutiara yang ada dalam Islam itu sendiri. Lebih pede beratribut, beridentitas dan bergaya meniru orang kafir dan orang-orang yang tak menganggap penting agama dari pada mengenakan atribut Islam yang mulia dan berfaedah. Dan kini Islam seperti tengah mengalami gerhana hingga sinarnya meredup dan bahkan hampir sirna. Wallahu Musta’an,semoga Allah segera membangkitkan keadaran umat ini akan keagungan nilai-nilai pada Agama Islam yang telah mereka anut. Lalu mereka berseru “saksikanlah, kami adalah para pemeluk Islam”.
            Ya Ayyuhal Muslimun,,,,,, janganlah silau dengan keindahan dunia, sesungguhnya nikmat yang terbesar adalah nikmat Iman dan Islam. Nikmat Iman dan Islam jauh lebih berharga dari bumi dan isinya.
            Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, untuk lebih mencintai apa-apa yang ada di dalam Islam itu sendiri.
Oleh : al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy / Abdullah al-Qurthubi al-Zuhaily.
والله تعالى اعلم

Tidak ada komentar:

Posting Komentar