Rabu, 05 Maret 2014

MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB DAN GERAKAN WAHABIYAH



MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
DAN GERAKAN WAHABIYAH

A. BIOGRAFI MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
            Muhammad bin Abdul Wahab berasal dari qabilah Bani Tamim yang dilahirkan pada pada tahun 1115 H, wafat tahun 1206 H.muala-mula ia belajar agama di Makkah dan di Madinah. Diantara guru-gurunya di Makkah bernama Asy-Syaikh Muhammad Sulaiman al-Kurdi, Asy-Syaikh Abdul Wahab (ayahnya sendiri) dan kakaknya Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab. Guru-gurunya semua termasuk kakaknya merupakan Ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah[1]. Namun Muhammad bin Abdul Wahab ketika mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah, jarak diantara Ibnu Taimiyah dengan Muhammad bin Abdul Wahab adalah 478 tahun. Ibnu Taimiyah meninggal di Syiria dan Muhammad bin Abdul Wahab meninggal di Nejdi.
Muhammad bin Abdul Wahab asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.
Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya.
Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.

Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar. Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama’ besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah. Tidak
ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat: “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
            Menurut cucu beliau yang bernama Lathif bin Ibrahim Ali Syaikh, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab lahir disuatu desa bernama “Ainiyah” pada tahun 1115 H. ia belajar agama kepada ayahnya, karena ayahnya adalah Ulama/Qadhi di negeri ‘Ainiyah itu. Setelah ia mencapai usia dewasa ia pergi kemakkah untuk menunaikan ibadah Haji dan kembali ke ‘Ainiyah sesudah mengerjakan Haji.  Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab dating lagi ke Makkah dan Madinah yang kedua kali, lama ia tinggal dan menuntut ilmu di Makkah dan Madinah.
            Ketika untuk kedua kalinya beliau kembali keMadinah beliau banyak melihat amal-amal/ibadat-ibadat orang islam di makam Nabi Muhammad SAW yang berlainan dari syari’at Islam, menurut penglihatan beliau.

            Kemudian ia pindah ke Bashrah dan menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil tetapi ia segera diusir oleh penguasa dan dikeluarkan dari kota Bashrah. Kemudian ia pergi ke Hassa dan berguru lagi disitu dengan Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, seorang Ulama di Hassa saat itu. Kemudian ia pindah ke Huraimalah , suatu desa kecil di negeri Nejdi. Mula-mula ia menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil dinegeri sendiri, yaitu di ‘Ainiyah. Tetapi Raja di negeri ituyang bernama Utsman bin Ahmad bin Ma’mar yang mulanya menolong tetapi setelah mendengar fatwa-fatwanya lalu ia mengusir dan bahkan berusaha membunuhnya.
            Kemudian ia pindah kedur’iyah, raja Dur’iyah yang bernama Muhammad bi Sa’ud menolong Muhammad bin Abdul Wahab dalam penyiaran faham-fahamnya. Maka bersatulah mereka. Muhammad bin Abdul Wahab membutuhkan penguasa untuk menolong penyiaran fahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang Ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideology yang keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaan. Maka bersatulah antara faham agama dengan raja, sebagaimana bersatunya faham Syi’ah di Iran dengan Syah Iran dan bersatunya faham Syi’ah di Yaman dengan Syi’ah Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman[2].
            Jelas dari uraian ini bahwa faham Muhammad bin Abdul Wahab tidak diterima di Bashrah juga tidak diterima di ‘Ainiyah, sehingga diusir dari kedua tempay itu oleh penguasa. Tetapi dengan pertolongan Muhammad bin Sa’ud dikota dur’iyah banyak jugalah pengikut-pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang terdiri dari orang-orang padang pasir, sehingga menjadi padang psir, sehingga menjadi kekuasaan yang tidak dapat diabaikan oleh Turki dan Syarif-Syarif dari Makkah ketika itu.
            Pada suatu ketika mereka mengirim delegasinya ke Makkah menemui Syarif Makkah, yaitu Syarif Mas’ud sambil mengerjakan haji. Delegasi ini menyiarkan fatwa-fatwa wahabiyah yang ganjil-ganjil dimakkah. Syarif Mas’ud menangkapi orang-orang ini dan bahkan membunuh sebahagiaannya, dan sebagiannya lagi lolos dan pulang memberikan laporan kepada Muhammad bin sa’ud. Dari mulai hal itu lah berkobar permusuhan antara kaum Wahabi di Nejdi dengan Syarif-syarif (penguasa-penguasa di Makkah). Dari sejarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa Raja-raja Makkah ketika itu tidak menyukai faham Wahabi, serupa dengan raja-raja di Bashrah dan ‘Amiyah.
            Muhammad bin Abdul Wahab itu memberikan fatwa bahwa orang-orang yang di Makkah itu banyak yang kafir, karena mereka membolehkan mendo’a dengan tawasul dihadapan makan Nabi SAW, mereka yang dating jauh-jauh untuk menziarahi makam Nabi, berdoa menghadap makam Nabi, memuji-muji Nabi dengan membaca Nazhasn Burdah ‘Amin Tadza”, membaca shalawat Dalailul Khairat yang berlebihan memuji Nabi, membaca-baca kisah maulud barzanji dan akhirnya mereka dikafirkan karena tidak mau mengikuti Muhammad bin Abdul Wahab.
            Disebutkan dalam sejarah bahywa suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir mengkafirkan ini.
Sulaiman bertanya kepada adiknya    ;           berapa rukun Islam?
Muhammad menjawab                        :           lima
Sulaiman                                             :           tetapi kamu menjadikannya enam
Muhammad                                         :           apa?
Sulaiman                                             :           kamu memfatwakan bahwa siapa yang             mengikutimu adalah mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad                                         :           terdiam dan marah
            Sesudah itu ia berusaha menangkap kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi sulaiman dapat lolos ke Makkah dan setibanya di Makkah ia mengarang kitab “Ash-Shawaiqul Ilahiyah Firraddi alal Wahabiyyah”[3].
           
B. GERAKAN WAHABI
            Pembangun gerakan ini atau faham ini adalah Muhammad bin Abdul Wahab yang biografinya sudah dibahas pada halaman sebelumnya. Oleh karena itu orang menamakan gerakannya atau fahamnya dengan sebutan wahabiyah, dibangsakan kepada Abdul Wahab, bapak Muhammad bin Abdul Wahab. Sebenarnya penamaan gerakan ini dengan wahabiyah adalah salah, karena pembangunnya bernama Muhammad, bukan Abdul Wahab.
             Wahabiyah adalah suatu bahagian dari firqah Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin abdul Wahab (1702 / 1787 M). lawannya menamainya wahabiyah tapi pengikutnya menamakan dirinya Al-Muwahhidun dan Thariqah mereka dinamakan Muhammadiyah, dalam firqah mereka berpegangkan kepada Madzhab Hanbali, disesuaikan dengan tafsir ibnu Taimiyah[4].
            Akan tetapi keterangan kamus munjid tersebut tidak semuanya benar. Ulama-Ulama Wahabi tidak marah jika mereka dipanggil dengan kalimat “WAHABI”, dan bahkan ada sebuah buku yang dikarang oleh mereka berjudul “ Al-Hijatussaniyah Wat Tuhfatul Wahabiyah an-Nijdiyah” dicetak oleh percetakan “Ummulqura” di Makkah tahun 1344 H.
            Saudara pendiri faham Wahabi yaitu Sulaiman bin Abdul Wahab mengarang sebuah buku dengan judul “Ash-Shawaiqul Ilahiyah Firraddi alal Wahabiyyah” yang artinya ( Petir Tuhan untuk menolak faham Wahabi). Dengan judul buku ini saja jelaslah bahwa pada masa hidup Muhammad bin Abdul Wahab nama “Wahabiyah” sudah ada juga.
            Seorang Ulama besar Mufhti Syafi’I di Makkah, Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (wafat : 1304 H), menulis sebuah buku untuk menolak faham wahabi dengan judul “Ad-Durarus Saniyah Firraddi alal Wahabiyah” yang artinya (Permata yang bertahta untuk menolak faham Wahabi), maka jelaslah bahwa nama Wahabi itu sudah lama adanya.
            Diantara ajaran-ajaran Wahabi :
1.      Dilarang melagukan adzan, sebelum wahabi masuk ke Makkah, diatas ketujuh menara Masjidil Haram bilal melakukan adzan dengan lagu dan suara-suara yang indah.
2.      Tidak boleh membunyikan radio.
3.      Dilarang keras melagukan qasidah.
4.      Tidak boleh melagukan al-qur’an dengan bacaan fuqaha sebagaimana yang banyak kedengaran di Mesir
5.      Tidak boleh membaca kitab shalawat Dalailul Khairat dan lebih-lebih lagi tidak pernah membaca Amin Tadza.
6.      Tidak boleh mengaji sifat dua puluh, sebagaimana yang terdapat pada kitab-kitab Tauhid Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
7.      Imam-Imam masjidil haramdisatukan dibelakang seorang Ulama mereka bernama Abi Samah,s edang sebelum wahabi masuk ke Makkah Imam-Imam Shalat di Masjidil Haram ada empat yaitu Imam Syafi’I, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali. Sep[ertinya penguasa di Makkah ingin menjadikan para Imam itu berada dibelakang Wahabi yang artinya mereka ingin menjadikan Imam yang empat itu tunduk kepada Wahabi.
8.      Kubah-kubah diatas pekuburan sahabat-sahabat Nabi yang berasa di Mu’ala (Makkah) di Baqi’I (Madinah) semuanya diruntuhkan, diratakan dengan tanah. Kabarnya meruntuhkannya dengan alat meriam. Akan tetapi ketika mereka hendak meruntuhkan kubah hijau dimakam Rasulullah SAW di Majsid Nabawi, mereka mendapat reaksi keras dari seluruh umat Islam diseluruh dunia, sehingga Wahabi mengurungkan niat mereka untuk meruntuhkan makam Nabi Muhammad SAW.
9.      Kubbah (gedunng besar) diatas tanah dimana Nabi Muhammad SAW dilahirkan, yaitu di Suq al-Leil diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan menggunakan meriam juga, kemudian tempat itu dijadikan tempat penambatan unta, namun atas desakan umat islam diseluruh dunia, akhirnya mereka mengganti tempat itu dengan membangunkan perpustakaan di tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW.
10.  Perayaan Maulid Nabi dibulan Rabi’ul awal dilarang karena mereka beranggapan bahwa Bid’ah itu semuanya adalah sesat, padahal sebelum kelahiran Wahabi kedunia, sanagat banyak sekali Ulama-Ulama dari generasi salaf yang mengatakan hal iyu hukumnya sunnat “memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW” hukumnya sunnat. Begitu juga mereka membid’ahkan perayaan Isra Wal Mi’raj.
11.  Bepergian dengan maksud menziarahi makam Nabi ke Madinah dilarang. Fatwanya : Barangsiapa yang musafir dan dengan musafirnya itu ia berniat menziarahi makam Nabi Muhammad SAW maka musafirnya itu adalah musafir maksiat.
12.  Mendoa dengan tawasul dilarang keras, dan mereka mengatakan orang yang bertawasul melakukan perbuatan Syirik, padahal para sahabat Nabi,seperti Umar bin Khattab juga pernah bertawasul, apakah kita berani mengatakan bahwa Sayyidina Umar sesat dan msuyrik karena berdoa dengan tawasul?
13.  Haram hukumnya berziarah Qubur. Mereka mengatakan bahwa orang yang berziarah qubur dengan sebutan “Quburiyyin” yang artinya penyembah-penyembah Qubur.
14.  Dan lain-lain, banyak sekali kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh Wahabi.

C. WAHABI BUKAN AHLUSSUNNAH WAl-JAMA’AH
            Mayoritas Umat islam meyakini bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu pengikut Madzhab Asy-Ari dan Maturidi dalam masalah aqidah. Tetapi tidak sedikit pula yang berasumsi bahwa aliran Wahabi juga masuk dalam golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal menurut para Ulama yang mu’tabar dikalangan sunni, aliran wahabi itu tergolong khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
            Wahabi dikatakan khawarij karena ada ajaran penting dikalangan khawarij menjadi ajaran Wahabi yaitui takfir al-mukhalif dan istihlal dima’ al-mukhallifin yaitu mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum muslimin yang berbeda dengan mereka).  Suatu kelompok dikatakan keluar dari ahlussunnah wal-jama’ah , tidak harus berbeda 100% dengan ahlussunah wal-jama’ah. Kaum khawarij pada masa sahabat dikatakan khawarij bukan semata-semata karena perlawanan mereka terhadap kaum muslimin, akan tetapi perlawanan mereka terhadap Syaidina Ali KWH dilator belakangi oleh motif ideology yaitu takfir dan istihlal dima’ al-mukhallifin (pengkafiran dan penghalalan darah kaum muslimin yang berbeda dengan mereka).
            Persoalannya adalah bahwa kaum wahabi juga merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan Hadits yang menjadi rujukan Ahlussunnah wal-jama’ah, hal ini bukan alas an menganggap mereka sebagai Ahlsunnah wal Jama’ah. Kalau kita mempelajari ilmu rijal hadits,dalam shahih Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain, tidak sedikit para perawi Hadits yang mengikuti aliran syi’ah, khawarij, murjia’ah, Qadariyah, dan lain-lain. Para Ulama kita, termasuk dari kalangan Ahli Hadits sangat toleran dengan siapa pun,sehingga tidak menghalangi menerima Hadits-Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi  ahli bid’ah untuk dimasukkan dalam kitab-kitab mereka kemudian menjaid rujukan utama kaum muslimin Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalau setiap orang yang merujuk kepada kitab shahih Al-Bukhari, shahih Muslim dan kitab-kitab Hadits lainnya harus dimasukkan dalam golongan ahlussunnah wal-jama’ah, maka kita tentunya harus pula memasukkan semua perawi hadits al-Bukhari dan lain-lain dalam Ahlussunnah Wal-Jama’ah, padahal faktanya tidak demikian.
            Alasan utama mengapa Wahabi dikatakan Khawarij dan bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah karena paradiqma pemikirannya yang mngusung konsep takfir dan istihlal dima’ wa amwal al-mukhalifin (pengkafiran dan penghalalan darah kaum muslimin yang berbeda dengan mereka). Pendiri Aliran Wahabi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :
“aku pada waktu itu tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam sebelum kebaikan yang dianugrahkanoleh Allah. Demikian pula guru-guruku tidak seoarang pun diantara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang beramsusmsi di antara Ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau makna Islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa diantara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta, mereka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengansesuatu yang tidak dimilikinya”[5].

            Dalam pernyataan diatas, jelas sekali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa sebelum ia menyebarkan faham Wahabi, ia sendiri tidak mengerti agama Islam. Bahkan tidak seorang pun dari guru-gurunya  dan Ulama manapun yang mengerti makna kalimat la ilaha illallah dan makna agama Islam. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengkafirkan guru-gurunya dan mengkafirkan dirinya sendiri sebelum ia  menyebarkan faham Wahabi.
            Didalam kitab yang lain disebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata:

ketahuilah bahwa kesyirikan orang-orang dahulu lebih ringan dari pada kesyirikan orang-orang masa kita sekarang ini. Maksudnya kaum muslimin yang berada diluar golongan kita itu telah syirik semua, kesyirikan mereka melevihi eksyirikan orang-orang jahiliyah”[6].

Didalam kitab yang lain disebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata:

Ilmu Fiqh dan kitab-kitab Fiqh Madzhab yang empat yang diajarkan oleh para Ulama adalah ilmu syirik, sedangkan para Ulama yang menyusunnya adalah syaithan-syaithan manusia dan jin”[7].
            Pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab ini berarti pembatalan dan pengkafiran terhadap kaum muslimin yang mengikuti Madzhab Fiqh yang empat. Pengkafiraan terhadap kaum Muslimin terus dilakukan oleh Ulama Wahabi, diantaranya :
            “ aneh dan ganjil, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak Tauhidnya kepada Allah dan lebih murni imannya kepadaNya dari pada kaum muslimin yang bertawasul dengan para wali dan orang-orang shaleh dan memohon pertolongan dengan perantara mereka kepada Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu lahab lebih tulus imannya dari mereka kaum muslimin yang mengucapkan dua kalimat syahadat “[8].
            Dalam pernyataan tersebut, Basyamil menganggap bahwa kaum muslimin selain Wahabi , lebih syirik dari pada Abu Jahal dan Abu Lahab. Kitab karya Basyamil ini dibagi-bagikan secara gratis oleh tokoh-tokoh Wahabi kepada siapapun yang berminat.
            Banyak sekali Ulama Ahlsunnah Wal-Jama’ah yang mu’tabar dikalangan kaum muslimin mengatakan bahwa Wahabi adalah khawarij, diantaranya dari kalangan Ulama Madzhab Maliki yaitu Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Shawi Al-Maliki :

 هذه الاية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة ويستحلون بذلك د ما ء المسلمين وأملهم كما هو مشاهد الان في نظائرهم وهم فرقة بارض الحجاز يقال لهم الوهابية يحسبون انهم على شيء ألا انهم هم الكا ذ بون

Artinya : “ ayat ini turun mengenai oreang-orang kahwarij, yaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu golongan atau kelompok dinegeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahabiyah mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta”[9] .
            Dari kalangan Ulama Madzhab Hanafi, Imam Muhammad Amin Afandi yang popular dengan sebutan Ibnu Abidin, berkata :
            Artinya : “ keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, kaum khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibnul Abdil Wahab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci . mereka meyakini bahwa mereka saja kaum muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka  adalah orang-orang musyrik, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para Ulamanya”[10].
                                                            وألله أعلم


[1] Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, Ash-Shawaiqul Ilahiyah Firraddi alal Wahabiyyah, Maktabah Syamilah, 1998, hlm 87.
[2] Abdul Lathif bin Ibrahim Ali Syaikh, Kasyfu Ash-Syubahat, An-Nur, Nejdi, hlm 24.
[3] K.H Sirajuddin Abbas, I’tikaq Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah, pustaka tarbiyah, Jakarta, 2005, hlm 352-355.
[4] Fr Louis Ma’luf Al-Yassu’I dan Fr Bernard Tottei Al-Yassu’I, Qamus Al-Munjid, Bab Adab, hlm 568.
[5] Ibnu Ghannam, Tarikh Najd, Maktabah Syamilah, hlm 310.
[6] Abdul Lathif bin Ibrahim Ali Syaikh,Ibid, hlm 29-30.
[7] Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, Al-Durar Al-Saniyyah fi Al-Ajwibat Al-Najdiyyah, Maktabah Syamilah, Juz 3 hlm 56. Kitab ini merupakan kumpulan fatwa-fatwa Ulama Wahabi sejak masa pendirinya yang di tahqiq oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
[8] Muhammad bin Ahmad Basyamil, Kaifa Nafhamu al-Tauhid, Maktabah Syamilah, hlm 16.
[9] Asy-Syaikh  Ahmad bin Muhammad Al-Shawi Al-Maliki, Hasyiyah Al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain,  Thaha Putra , Semarang, Juz 3, hlm 307.
[10] Al-Imam Ibnu Abidin, Hasyiah Radd-Al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, Maktabah Tauqifiyah, Juz 4, hlm 262.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar