TRANSAKSI EKONOMI
YANG DIDALAMNYA TERDAPAT UNSUR RIBA[1]
Sistem ekonomi Islam berdiri atas
dasar saling tolong – menolong dan saling ridha antara dua orang atau lebih
yang bertransaksi. Selain itu didasarkan pula atas perjuangan menghilangkan
riba. Islam memandang riba sebagai salah satu dosa besar yang melenyapkan
keberkahan dari individu maupun dari masyarakat. Selain itu akan mendatangkkan
bencana baik didunia maupun akhirat.
A. Arti Riba
Menurut bahasa riba berarti “ الزيادة “
(tambahan). Menurut istilah Ulama’ Fiqh mendefenisikannya sebagai berikut :
a. Ulama’
Hanabilah
الزيادة في اشياء
مخصوص
Artinya : “ Pertambahan sesuatu yang
dikhususkan”.
b. Ulama’
Hanafiyah
فصل
مال بلا عوض في معاوضة مال بمال Artinya : “ Tambahan
pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta “.
B. Dalil Keharaman Riba
a. Al-Qur’an
وأحل
الله البيع وحرم الربوا ( البقرة )
Artinya : “ Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “ (Q.S Al-Baqarah 275).
ياايهاالذين
امنوااتقواالله وذروامابقي من الربواان كنتم
مؤمنين
. . . . .الى الأخراية.
Artinya : “ Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba) , maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” (Q.S Al-Baqarah
278-279).
b. As-Sunnah
“ Abu Hurairah r.a berkata bahwa
Nabi saw bersabda : tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan, sahabat
bertanya, apakah itu ya Rasulullah? Jawab Nabi, 1. Syirik (mempersekutukan
Allah), 2. Berbuat sihir (tenung), 3. Membunuh jiwa yang diharamkan Allah,
kecuali yang hak, 4. Makan harta riba, 5. Makan harta anak yatim, 6. Melarikan
diri dari perang jihad pada saat beerjuang, 7. Menuduh wanita mukminat yang
sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina “. (H.R Buhari).
c. Ijma’
Seluruh Ulama sepakat bahwa riba
diharamkan dalam Islam
C. Macam-Macam Riba
1. Jumhur
Ulama’ membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
a. Riba
Fadhl
Menurut Ulama’ Hanafiyah ,riba fadhl
adalah :
زيادة
عين مال في عقد بيع على معيار الشرعى عند اتحاد الجنس
Artinya : “ Tambahan zat harta
pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis “.
Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual
beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada
salah satu benda tersebut. Oleh karena
itu, jika melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak boleh
dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba[2].
b. Riba
Nasi’ah
Menurut Ulama’ Hanafiyah, riba nasi’ah
adalah
Artinya : “ memberikan kelebihan
terhadap pembayaran dari yang ditanggungkan, meberikan kelebihan pada benda
dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau
selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya[3] “.
Maksudnya adalah menjual barang
dengan sejenisnya, tapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan,
seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram gandum, yang
dibayarkan setelah dua bulan.
2. Menurut
Ulama’ Syafi’iyyah
Ulama’ Syafi’iyyah membagi riba
menjadi tiga jenis.
a. Riba
Fadhl
Riba fadhl adalah jual beli yang
disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya.
Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi
pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu
setengah kilogram kentang.
b. Riba
Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan
(al-Qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang
terima. Seperti menganggap sempurna antara gandum dengan sya’ir tanpa harus
saling menyerahkan dan menerima ditempat akad. Menurut Ulama’ Hanafiyah , riba
ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari hutang.
c. Riba
Nasi’ah
Riba nasi’ah yakni jual beli yang
pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.
Menurut Ulama’ Syafi’iyyah riba yad dan
riba nasi’ah sama seperti terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis.
Perbedaannya riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah
mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan
meskipun sebentar[4].
D. Produk Bank Konvensional
Kegiatan usaha bank dalam melakukan
penghimpunan dana msyarakat maupun dalam penyaluran dana dilakukan melalui produksi
jasa keuangan. Hal ini karena produksi jasa keuangan dan bank dapat mempegaruhi
peredaran uang dimasyarakat, serta berpengaruh terhadap perekonomian. Oleh
karena itu produksi jasa keuangan bank di atur oleh peraturan yang sifatnya
mengikat dalam kegiatan operasional bank, sehingga dapat memberikan keamanan
bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupun bagi stabilitas ekonomi sosial.
Diantara produk-produk bank, antara lain berikut ini :
-
Simpanan
-
Giro
-
Cek
-
Tabungan
-
Deposito
-
Inkaso dan
Kliring
-
Garansi bank
-
Surat yang
dapat diperdagangkan
-
Wesel bank
-
Aksep Bank
-
Endosemen
-
Transaksi
–transfer
Mengenai hukum bank konvensional
para Ulama’ menjelaskan, diantaranya :
Pendapat asy-Syaikh Abu Zahrah ,
Guru besar pada Fakultas Hukum Universitas al-Azhar (Cairo , Mesir), asy-Syaikh Abul A’la
al-Maududi (pakistan), asy-Syaikh Muhammad Abdullah al-Arabi dan lain-lain
menyatkaan bahwa bunga bank termasuk riba nasi’ah yang dilarang oleh Islam.
Oleh karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai
sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Para Ulama’
tersebut mengharapkan lahirnya bank Islam yang tida memakai sistem bunga sama
sekali.
Menurut asy-Syaikh Musthafa Ahmad
az-Zarqa’, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria bahwa
sistem perbank kan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tidak
dapat dihindari. Oleh karena itu, oleh karena itu umat Islam boleh bermuamalah
dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat
sementara. Hal ini karena umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan
mendirikan bank tanpa sistem bunga untuk meyelamatkan umat Islam dari
cengkraman Bank Konvensional.
E. Orang Yang Bekerja Di Perusahaan Ribawi
Hukum asal
bekerja diperusahaan ribawi adalah haram. Hukum haram ini dapat berubah menjadi
boleh apabila keadaan memaksa harus melakukan pekerjaan tersebut tanpa ada
alternatif memperoleh pekerjaan yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah dan
Qaidah Fiqh :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ÍÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uöxî 8ø$t/ wur 7$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOÏm§ ÇÊÐÌÈ
Artinya : “ Barangsiapa dalam
keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampau
batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang “. (Q.S al-Baqarah : 173).
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? ö/ä3Ï÷r'Î/ n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ
Artinya : “ dan jaganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik “. (Q.S al-Baqarah :
195).
اضرورة تبيح
المحظورات
Artinya : “ Keadaan
terpaksa membolehkan sesuatu yang dilarang “[5].
F. Transaksi-Transaksi Ekonomi Yang di Dalamnya
Terdapat Unsur Riba
Dalam
transaksi ekonomi yang kita lakukan sehari-harinya, tanpa kita sadari banyak
sekali diantaranya yang terdapat unsur riba didalam transaksi tersebut,
diantaranya :
a.
Asuransi
Keuangan
Apabila kita melihat bahwa Islam
menentang perusahaan asuransi masa kini, dnegan segala bentuk praktek
transaksinya, itu tidak berarti bahwa memerangi ide asuransinya sendiri.
Sekali-kali tidaklah demikian.ia hanya menentang sistem dan perangkatnya.
Adapun jika ada cara lain untuk menjalankan asuransi yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip Islam, Islam pasti menyambutnya dengan baik. Adapun mengenai pembahasan Asuransi Hukum
dan Permasalahannya, dapat anda lihat pada tulisan saya melalui Blog
saya dengan Alamat : AbdullahQurthubi.Blogspot.com
b.
Penambahan
jumlah hutang karena sudah habis tempo (jatuh tempo) untuk membayar hutang.
Misalnya si A berhutang kepada si
B Rp 100.000 dengan tempo pelunasan selama satu bulan. Namun setelah jatuh
tempo pelunasan yang dijanjikan selama satu bulan tersebut, ternyata si A belum
mampu membayar hutangnya, kemudian si B memberikan perpanjangan waktu selama
sebulan lagi kepada si A dengan syarat si A harus membayar sebesar Rp 120.000,
maka uang sebesar Rp. 20.000 itu adalah riba.
c.
Meminjam
dengan membayar lebih dari jumlah yang dipinjamkan dan lebih dari jumlah yang
dipinjamkan (bunganya) sudah disepakati diawal akad.
Misalnya si A berhutang kepada
si B sebesar Rp 100.000, dan ketika akad mereka bersepakat bahwa si A harus
mengembalikannya hutangnya kepada si B sebesar Rp 150.000. maka uang sebesar Rp
50.000 itu adalah riba. Atau contoh yang lain, si A meminjam beras kepada si B
dengan harga Rp 9.000/kg, namun ketika dikembalikan beras tersebut dengan bera
yang harganya Rp 12.000/kg, atau dibayar juga dengan beras yang harganya Rp.
9.000 namun dengan jumlah 1 1,5 kg, maka yang lebihnya itu adalah riba.
d.
Memberikan
pinjaman dengan bungan 0% akan tetapi jika terlambat pembayarannya dikenakan
denda , maka dendanya itu adalah riba. Ini banyak di praktekkan oleh Bank-Bank
Syari’ah.
e.
Memberikan
pinjaman Rp. 100.000, akan tetapi uang yang diterima orang yang berhutang hanya
berjumlah Rp 80.000, dan orang yang berhutang tetap wajib membayar sejumlah Rp
100.000. potongan Rp 20.000 itu merupakan riba. Ini banyak dipraktekkan oleh
Koperasi.
f.
Riba Hutang
di Pegadaian.
والله
اعلم
[1]Makalah ini disampaikan oleh Al-Faqir
Ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah
Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 21 Jumadil Awwal 1435 H bertepatan
tanggal 22 Maret 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
[2]
Al-Imam Ibnu Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz II, h. 129.
[3]
Asy-Syaikh Alauddin
al-Kasani, Bada’i Ash-Shan’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz V, h.183.
[4]Al-Imam Muhammad asy-Syarbini,
Mughni al-Muhtaj, Juz II, h. 21.
[5]
Fatwa MUI Pusat Nomor 1
Tahun 2004 tanggal 24 Januari 2004 yang Memutuskan sebagamana tersebut diatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar