MUHAMMAD
BIN ABDUL WAHAB
DAN
GERAKAN WAHABIYAH
A. BIOGRAFI MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Muhammad bin Abdul Wahab berasal dari qabilah Bani Tamim yang
dilahirkan pada pada tahun 1115 H, wafat tahun 1206 H.muala-mula ia belajar
agama di Makkah dan di Madinah. Diantara guru-gurunya di Makkah bernama
Asy-Syaikh Muhammad Sulaiman al-Kurdi, Asy-Syaikh Abdul Wahab (ayahnya sendiri)
dan kakaknya Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab. Guru-gurunya semua
termasuk kakaknya merupakan Ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah[1].
Namun Muhammad bin Abdul Wahab ketika mudanya banyak membaca buku-buku karangan
Ibnu Taimiyah, jarak diantara Ibnu Taimiyah dengan Muhammad bin Abdul Wahab
adalah 478 tahun. Ibnu Taimiyah meninggal di Syiria dan Muhammad bin Abdul
Wahab meninggal di Nejdi.
Muhammad bin Abdul Wahab asal mulanya dia adalah seorang
pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan
diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India
dan Syam.
Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh
oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja
sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi
alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya.
Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte
bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i.
Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target
program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.
Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan
sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab
adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak
semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang
baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan
mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.
Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar.
Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan
khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab,
ulama’ besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan
kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal
Wahabiyah. Tidak
ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah,
Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi
nasehat: “Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah,
tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar
seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat
tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya
bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau
dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin
kau mengkafirkan As-Sawadul A’dham (kelompok mayoritas) diantara
kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang
yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran,
sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.
Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai
hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman : “Dan barang siapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka
bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam,
dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS: An-Nisa 115)
Menurut cucu beliau yang bernama
Lathif bin Ibrahim Ali Syaikh, bahwa Muhammad bin Abdul Wahab lahir disuatu
desa bernama “Ainiyah” pada tahun 1115 H. ia belajar agama kepada ayahnya,
karena ayahnya adalah Ulama/Qadhi di negeri ‘Ainiyah itu. Setelah ia mencapai
usia dewasa ia pergi kemakkah untuk menunaikan ibadah Haji dan kembali ke
‘Ainiyah sesudah mengerjakan Haji.
Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab dating lagi ke Makkah dan Madinah yang
kedua kali, lama ia tinggal dan menuntut ilmu di Makkah dan Madinah.
Ketika untuk kedua kalinya beliau
kembali keMadinah beliau banyak melihat amal-amal/ibadat-ibadat orang islam di
makam Nabi Muhammad SAW yang berlainan dari syari’at Islam, menurut penglihatan
beliau.
Kemudian ia pindah ke Bashrah dan
menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil tetapi ia segera diusir oleh penguasa
dan dikeluarkan dari kota Bashrah. Kemudian ia pergi ke Hassa dan berguru lagi
disitu dengan Syaikh Abdullah bin Abdul Lathif, seorang Ulama di Hassa saat
itu. Kemudian ia pindah ke Huraimalah , suatu desa kecil di negeri Nejdi.
Mula-mula ia menyiarkan fatwanya yang ganjil-ganjil dinegeri sendiri, yaitu di
‘Ainiyah. Tetapi Raja di negeri ituyang bernama Utsman bin Ahmad bin Ma’mar
yang mulanya menolong tetapi setelah mendengar fatwa-fatwanya lalu ia mengusir
dan bahkan berusaha membunuhnya.
Kemudian ia pindah kedur’iyah, raja
Dur’iyah yang bernama Muhammad bi Sa’ud menolong Muhammad bin Abdul Wahab dalam
penyiaran faham-fahamnya. Maka bersatulah mereka. Muhammad bin Abdul Wahab
membutuhkan penguasa untuk menolong penyiaran fahamnya yang baru dan Muhammad
bin Sa’ud membutuhkan seorang Ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan
ideology yang keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaan. Maka
bersatulah antara faham agama dengan raja, sebagaimana bersatunya faham Syi’ah
di Iran dengan Syah Iran dan bersatunya faham Syi’ah di Yaman dengan Syi’ah
Imamiyah di Yaman dengan “Imam” yang menguasai Yaman[2].
Jelas dari uraian ini bahwa faham
Muhammad bin Abdul Wahab tidak diterima di Bashrah juga tidak diterima di
‘Ainiyah, sehingga diusir dari kedua tempay itu oleh penguasa. Tetapi dengan
pertolongan Muhammad bin Sa’ud dikota dur’iyah banyak jugalah pengikut-pengikut
Muhammad bin Abdul Wahab yang terdiri dari orang-orang padang pasir, sehingga
menjadi padang psir, sehingga menjadi kekuasaan yang tidak dapat diabaikan oleh
Turki dan Syarif-Syarif dari Makkah ketika itu.
Pada suatu ketika mereka mengirim
delegasinya ke Makkah menemui Syarif Makkah, yaitu Syarif Mas’ud sambil
mengerjakan haji. Delegasi ini menyiarkan fatwa-fatwa wahabiyah yang
ganjil-ganjil dimakkah. Syarif Mas’ud menangkapi orang-orang ini dan bahkan
membunuh sebahagiaannya, dan sebagiannya lagi lolos dan pulang memberikan
laporan kepada Muhammad bin sa’ud. Dari mulai hal itu lah berkobar permusuhan
antara kaum Wahabi di Nejdi dengan Syarif-syarif (penguasa-penguasa di Makkah).
Dari sejarah ini dapat diambil kesimpulan bahwa Raja-raja Makkah ketika itu
tidak menyukai faham Wahabi, serupa dengan raja-raja di Bashrah dan ‘Amiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab itu
memberikan fatwa bahwa orang-orang yang di Makkah itu banyak yang kafir, karena
mereka membolehkan mendo’a dengan tawasul dihadapan makan Nabi SAW, mereka yang
dating jauh-jauh untuk menziarahi makam Nabi, berdoa menghadap makam Nabi,
memuji-muji Nabi dengan membaca Nazhasn Burdah ‘Amin Tadza”, membaca shalawat
Dalailul Khairat yang berlebihan memuji Nabi, membaca-baca kisah maulud
barzanji dan akhirnya mereka dikafirkan karena tidak mau mengikuti Muhammad bin
Abdul Wahab.
Disebutkan dalam sejarah bahywa
suatu kali terjadi perdebatan antara Muhammad bin Abdul Wahab dengan saudaranya
Sulaiman bin Abdul Wahab, dalam soal kafir mengkafirkan ini.
Sulaiman
bertanya kepada adiknya ; berapa rukun Islam?
Muhammad
menjawab : lima
Sulaiman : tetapi kamu menjadikannya enam
Muhammad : apa?
Sulaiman : kamu memfatwakan bahwa siapa
yang mengikutimu adalah
mu’min dan yang tidak sesuai dengan fatwamu adalah kafir.
Muhammad : terdiam dan marah
Sesudah itu ia berusaha menangkap
kakaknya dan akan membunuhnya, tetapi sulaiman dapat lolos ke Makkah dan
setibanya di Makkah ia mengarang kitab “Ash-Shawaiqul
Ilahiyah Firraddi alal Wahabiyyah”[3].
B. GERAKAN WAHABI
Pembangun gerakan ini atau faham ini adalah Muhammad bin Abdul
Wahab yang biografinya sudah dibahas pada halaman sebelumnya. Oleh karena itu
orang menamakan gerakannya atau fahamnya dengan sebutan wahabiyah, dibangsakan kepada
Abdul Wahab, bapak Muhammad bin Abdul Wahab. Sebenarnya penamaan gerakan ini
dengan wahabiyah adalah salah, karena pembangunnya bernama Muhammad, bukan
Abdul Wahab.
Wahabiyah adalah suatu bahagian dari firqah
Islamiyah, dibangun oleh Muhammad bin abdul Wahab (1702 / 1787 M). lawannya
menamainya wahabiyah tapi pengikutnya menamakan dirinya Al-Muwahhidun dan
Thariqah mereka dinamakan Muhammadiyah, dalam firqah mereka berpegangkan kepada
Madzhab Hanbali, disesuaikan dengan tafsir ibnu Taimiyah[4].
Akan tetapi keterangan kamus munjid
tersebut tidak semuanya benar. Ulama-Ulama Wahabi tidak marah jika mereka
dipanggil dengan kalimat “WAHABI”, dan bahkan ada sebuah buku yang dikarang
oleh mereka berjudul “ Al-Hijatussaniyah Wat Tuhfatul Wahabiyah an-Nijdiyah”
dicetak oleh percetakan “Ummulqura” di Makkah tahun 1344 H.
Saudara pendiri faham Wahabi yaitu
Sulaiman bin Abdul Wahab mengarang sebuah buku dengan judul “Ash-Shawaiqul
Ilahiyah Firraddi alal Wahabiyyah” yang artinya ( Petir Tuhan untuk menolak
faham Wahabi). Dengan judul buku ini saja jelaslah bahwa pada masa hidup
Muhammad bin Abdul Wahab nama “Wahabiyah” sudah ada juga.
Seorang Ulama besar Mufhti Syafi’I
di Makkah, Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (wafat : 1304 H), menulis sebuah
buku untuk menolak faham wahabi dengan judul “Ad-Durarus Saniyah Firraddi alal
Wahabiyah” yang artinya (Permata yang bertahta untuk menolak faham Wahabi),
maka jelaslah bahwa nama Wahabi itu sudah lama adanya.
Diantara ajaran-ajaran Wahabi :
1.
Dilarang melagukan adzan, sebelum wahabi masuk ke Makkah, diatas
ketujuh menara Masjidil Haram bilal melakukan adzan dengan lagu dan suara-suara
yang indah.
2.
Tidak boleh membunyikan radio.
3.
Dilarang keras melagukan qasidah.
4.
Tidak boleh melagukan al-qur’an dengan bacaan fuqaha sebagaimana
yang banyak kedengaran di Mesir
5.
Tidak boleh membaca kitab shalawat Dalailul Khairat dan lebih-lebih
lagi tidak pernah membaca Amin Tadza.
6.
Tidak boleh mengaji sifat dua puluh, sebagaimana yang terdapat pada
kitab-kitab Tauhid Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
7.
Imam-Imam masjidil haramdisatukan dibelakang seorang Ulama mereka
bernama Abi Samah,s edang sebelum wahabi masuk ke Makkah Imam-Imam Shalat di
Masjidil Haram ada empat yaitu Imam Syafi’I, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Hanbali. Sep[ertinya penguasa di Makkah ingin menjadikan para Imam itu berada
dibelakang Wahabi yang artinya mereka ingin menjadikan Imam yang empat itu
tunduk kepada Wahabi.
8.
Kubah-kubah diatas pekuburan sahabat-sahabat Nabi yang berasa di
Mu’ala (Makkah) di Baqi’I (Madinah) semuanya diruntuhkan, diratakan dengan
tanah. Kabarnya meruntuhkannya dengan alat meriam. Akan tetapi ketika mereka
hendak meruntuhkan kubah hijau dimakam Rasulullah SAW di Majsid Nabawi, mereka
mendapat reaksi keras dari seluruh umat Islam diseluruh dunia, sehingga Wahabi
mengurungkan niat mereka untuk meruntuhkan makam Nabi Muhammad SAW.
9.
Kubbah (gedunng besar) diatas tanah dimana Nabi Muhammad SAW
dilahirkan, yaitu di Suq al-Leil diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan
menggunakan meriam juga, kemudian tempat itu dijadikan tempat penambatan unta,
namun atas desakan umat islam diseluruh dunia, akhirnya mereka mengganti tempat
itu dengan membangunkan perpustakaan di tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW.
10.
Perayaan Maulid Nabi dibulan Rabi’ul awal dilarang karena mereka
beranggapan bahwa Bid’ah itu semuanya adalah sesat, padahal sebelum kelahiran
Wahabi kedunia, sanagat banyak sekali Ulama-Ulama dari generasi salaf yang
mengatakan hal iyu hukumnya sunnat “memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW” hukumnya
sunnat. Begitu juga mereka membid’ahkan perayaan Isra Wal Mi’raj.
11.
Bepergian dengan maksud menziarahi makam Nabi ke Madinah dilarang.
Fatwanya : Barangsiapa yang musafir dan dengan musafirnya itu ia berniat
menziarahi makam Nabi Muhammad SAW maka musafirnya itu adalah musafir maksiat.
12.
Mendoa dengan tawasul dilarang keras, dan mereka mengatakan orang
yang bertawasul melakukan perbuatan Syirik, padahal para sahabat Nabi,seperti
Umar bin Khattab juga pernah bertawasul, apakah kita berani mengatakan bahwa Sayyidina
Umar sesat dan msuyrik karena berdoa dengan tawasul?
13.
Haram hukumnya berziarah Qubur. Mereka mengatakan bahwa orang yang
berziarah qubur dengan sebutan “Quburiyyin” yang artinya penyembah-penyembah
Qubur.
14.
Dan lain-lain, banyak sekali kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan
oleh Wahabi.
C.
WAHABI BUKAN AHLUSSUNNAH WAl-JAMA’AH
Mayoritas Umat islam meyakini bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu
pengikut Madzhab Asy-Ari dan Maturidi dalam masalah aqidah. Tetapi tidak
sedikit pula yang berasumsi bahwa aliran Wahabi juga masuk dalam golongan
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal menurut para Ulama yang mu’tabar dikalangan
sunni, aliran wahabi itu tergolong khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Wahabi dikatakan khawarij karena ada
ajaran penting dikalangan khawarij menjadi ajaran Wahabi yaitui takfir
al-mukhalif dan istihlal dima’ al-mukhallifin yaitu mengkafirkan dan
menghalalkan darah kaum muslimin yang berbeda dengan mereka). Suatu kelompok dikatakan keluar dari
ahlussunnah wal-jama’ah , tidak harus berbeda 100% dengan ahlussunah
wal-jama’ah. Kaum khawarij pada masa sahabat dikatakan khawarij bukan
semata-semata karena perlawanan mereka terhadap kaum muslimin, akan tetapi
perlawanan mereka terhadap Syaidina Ali KWH dilator belakangi oleh motif
ideology yaitu takfir dan istihlal dima’ al-mukhallifin (pengkafiran
dan penghalalan darah kaum muslimin yang berbeda dengan mereka).
Persoalannya adalah bahwa kaum
wahabi juga merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan Hadits yang menjadi rujukan
Ahlussunnah wal-jama’ah, hal ini bukan alas an menganggap mereka sebagai
Ahlsunnah wal Jama’ah. Kalau kita mempelajari ilmu rijal hadits,dalam shahih
Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain, tidak sedikit para perawi Hadits yang
mengikuti aliran syi’ah, khawarij, murjia’ah, Qadariyah, dan lain-lain. Para
Ulama kita, termasuk dari kalangan Ahli Hadits sangat toleran dengan siapa
pun,sehingga tidak menghalangi menerima Hadits-Hadits yang diriwayatkan oleh
para perawi ahli bid’ah untuk dimasukkan
dalam kitab-kitab mereka kemudian menjaid rujukan utama kaum muslimin
Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalau setiap orang yang merujuk kepada kitab shahih
Al-Bukhari, shahih Muslim dan kitab-kitab Hadits lainnya harus dimasukkan dalam
golongan ahlussunnah wal-jama’ah, maka kita tentunya harus pula memasukkan semua
perawi hadits al-Bukhari dan lain-lain dalam Ahlussunnah Wal-Jama’ah, padahal
faktanya tidak demikian.
Alasan utama mengapa Wahabi
dikatakan Khawarij dan bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah adalah karena paradiqma
pemikirannya yang mngusung konsep takfir dan istihlal dima’ wa amwal
al-mukhalifin (pengkafiran dan penghalalan darah kaum muslimin yang berbeda
dengan mereka). Pendiri Aliran Wahabi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata :
“aku pada waktu itu tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak
mengerti agama Islam sebelum kebaikan yang dianugrahkanoleh Allah. Demikian
pula guru-guruku tidak seoarang pun diantara mereka yang mengetahui hal
tersebut. Barangsiapa yang beramsusmsi di antara Ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia
mengetahui makna la ilaha illallah atau makna Islam sebelum waktu ini, atau
berasumsi bahwa diantara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti
ia telah berdusta, mereka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya
dengansesuatu yang tidak dimilikinya”[5].
Dalam pernyataan diatas, jelas
sekali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa sebelum ia menyebarkan
faham Wahabi, ia sendiri tidak mengerti agama Islam. Bahkan tidak seorang pun
dari guru-gurunya dan Ulama manapun yang
mengerti makna kalimat la ilaha illallah dan makna agama Islam. Pernyataan ini
menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengkafirkan guru-gurunya dan
mengkafirkan dirinya sendiri sebelum ia
menyebarkan faham Wahabi.
Didalam kitab yang lain disebutkan
bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata:
“ ketahuilah
bahwa kesyirikan orang-orang dahulu lebih ringan dari pada kesyirikan
orang-orang masa kita sekarang ini. Maksudnya kaum muslimin yang berada diluar
golongan kita itu telah syirik semua, kesyirikan mereka melevihi eksyirikan
orang-orang jahiliyah”[6].
Didalam
kitab yang lain disebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berkata:
“ Ilmu
Fiqh dan kitab-kitab Fiqh Madzhab yang empat yang diajarkan oleh para Ulama
adalah ilmu syirik, sedangkan para Ulama yang menyusunnya adalah
syaithan-syaithan manusia dan jin”[7].
Pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab ini berarti pembatalan dan pengkafiran terhadap kaum muslimin yang
mengikuti Madzhab Fiqh yang empat. Pengkafiraan terhadap kaum Muslimin terus
dilakukan oleh Ulama Wahabi, diantaranya :
“ aneh dan ganjil, ternyata Abu
Jahal dan Abu Lahab lebih banyak Tauhidnya kepada Allah dan lebih murni imannya
kepadaNya dari pada kaum muslimin yang bertawasul dengan para wali dan
orang-orang shaleh dan memohon pertolongan dengan perantara mereka kepada
Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu lahab lebih tulus imannya dari mereka kaum
muslimin yang mengucapkan dua kalimat syahadat “[8].
Dalam pernyataan tersebut, Basyamil
menganggap bahwa kaum muslimin selain Wahabi , lebih syirik dari pada Abu Jahal
dan Abu Lahab. Kitab karya Basyamil ini dibagi-bagikan secara gratis oleh
tokoh-tokoh Wahabi kepada siapapun yang berminat.
Banyak sekali Ulama Ahlsunnah
Wal-Jama’ah yang mu’tabar dikalangan kaum muslimin mengatakan bahwa Wahabi
adalah khawarij, diantaranya dari kalangan Ulama Madzhab Maliki yaitu Asy-Syaikh
Ahmad bin Muhammad Al-Shawi Al-Maliki :
“ هذه الاية نزلت في الخوارج الذين يحرفون تأويل الكتاب والسنة ويستحلون
بذلك د ما ء المسلمين وأملهم كما هو مشاهد الان في نظائرهم وهم فرقة بارض الحجاز
يقال لهم الوهابية يحسبون انهم على شيء ألا انهم هم الكا ذ بون
Artinya
: “ ayat ini turun mengenai oreang-orang kahwarij, yaitu mereka yang
mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan sunnah, dan oleh sebab itu mereka
menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi
dewasa ini pada golongan mereka, yaitu golongan atau kelompok dinegeri Hijaz
yang disebut dengan aliran Wahabiyah mereka menyangka bahwa mereka akan
memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang pendusta”[9]
.
Dari kalangan Ulama Madzhab Hanafi,
Imam Muhammad Amin Afandi yang popular dengan sebutan Ibnu Abidin, berkata :
Artinya : “ keterangan tentang
pengikut Muhammad bin Abdul Wahab, kaum khawarij pada masa kita. Sebagaimana
terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibnul Abdil Wahab yang keluar dari Najd
dan berupaya keras menguasai dua tanah suci . mereka meyakini bahwa mereka saja
kaum muslimin, sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik, dan oleh sebab
itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan para Ulamanya”[10].
وألله أعلم
[1] Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahab, Ash-Shawaiqul Ilahiyah
Firraddi alal Wahabiyyah, Maktabah Syamilah, 1998, hlm 87.
[3] K.H Sirajuddin Abbas, I’tikaq Ahlus-Sunnah Wal-Jama’ah,
pustaka tarbiyah, Jakarta, 2005, hlm 352-355.
[4] Fr Louis Ma’luf Al-Yassu’I dan Fr Bernard Tottei Al-Yassu’I, Qamus
Al-Munjid, Bab Adab, hlm 568.
[7] Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, Al-Durar Al-Saniyyah
fi Al-Ajwibat Al-Najdiyyah, Maktabah Syamilah, Juz 3 hlm 56. Kitab ini
merupakan kumpulan fatwa-fatwa Ulama Wahabi sejak masa pendirinya yang di
tahqiq oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim.
[9] Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-Shawi
Al-Maliki, Hasyiyah Al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, Thaha Putra , Semarang, Juz 3, hlm 307.
[10] Al-Imam Ibnu Abidin, Hasyiah Radd-Al-Muhtar ‘ala al-Durr
al-Mukhtar, Maktabah Tauqifiyah, Juz 4, hlm 262.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar