SEHARUSNYA ANDA BANGGA
MENJADI SEORANG MUSLIM
بسم الله الرحمن الرحيم . الحمد
لله رب العلمين , اللهم صلى على سيدنا محمد , وعلى اله سيدنا محمد
Dikisahkan dari kitab al-Bidayah Wa
an-Nihayah Karya al-Imam Ibnu Katsir dan dari kitab Tarikh at-Thabari :
Kedua pasukan telah siaga. Pihak persia
telah meminta Islam mengirimkan utusan. Untuk menyambutnya, disiapkan dekorasi
uper wah dari berbagai pernak pernik yang luar biasa mahalnya. Untuk alas
penyambutan, bukan sekedar karpet merah, tapi permadani sutra dan bantal-bantal
yang empuk. Barangkali, tujuannya adalah agar si utusan dari Islam merasa
terkagum-kagum dan minder saat membandingkan dirinya, lalu rasa minder itu bisa
ia bawa pulang untuk ditularkan kepada pasukan Muslim pada saat itu.
Yang ditunggu tiba yaitu utusan dari
pasukan Islam, seorang laki-laki negro dengan baju perang, tombak dan seekor
kuda pendek. Dia adalah Rib’i bin Amir Radhiyallahu Anhu. Meski begitu, yang
dilakukannya benar-benar membuat para penyambut di kerajaan rum menjadi
jengkel, sengaja kudanya diberhentikan diujung permadani hingga menginjaknya.
Para Body Guard Rustum, paglima
persia, membentak, “lepaskan senjatamu”!. Dengan dingin ia menjawab, “ aku
tidak pernah berniat mendatangi kalian, tapi kalianlah yang mengundangku. Jika kalian
memerlukanku, biarlah aku masuk seperti ini, jika tidak aku akan kembali “. Ujar
Rib’i bin Amir Radhiyallahu Anhu.
Rustum (Raja Persia) berujar, “Biarkan
ia masuk”. Ia berjalan dan mengarahkan ujung tombaknya kebawah hingga membuat
lubang-lubang pada bantal – bantal disekitarnya. Apa yang membawa kalian
kemari? Tanya Rustum. Rib’i bin Amir Radhiyallahu Anhu menjawab : “ Allah
mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan
terhadap sesama hamba kepada penghambaan kepada Allah, dari kesempitan dunia
menuju keluasan-Nya, dari kezhaliman agama-agama menuju keadilan al-Islam.....”.
Dialog terus berlanjut dan rustum
tampak kagum dengan utusan yang dihadapannya. Melihat itu yang para pengawal
Rustum coba menegur supaya tidak terpengaruh oleh si Negro “Rib’i bin Amir
Radhiyallahu ‘Anhu”, kemudian mereka berkata kepada Rustum : “ lihatlah
bagaimana ia berpakaian “. Kemudian Rustum menjawab : “ Celakalah kalian !
Janganlah kalian melihat kepada pakaian, akan tetapi lihatlah kepada pendapat,
perkataan, dan jalan hidupnya ! sesungguhnya orang-orang Islam menganggap
ringan masalah pakaian dan makanan, tetapi mereka sangat menjaga harga diri mereka.
Dalam kisah di atas Rib’i r.a bukan
bersikap arogan dan menihilkan akhlaq. Kondisi saat itu sedang perang. Dan dalam
perang, perang mental (psywar) bukanlah aspek yang patut diremehkan. Dengan sikap
dari Rib’i bin Amir r.a serangan mental musuh pun gagal total. Sikap yang
mencerminkan izzatunnafsi (kemulian diri), percaya diri dan keyakinan bahwa
ISLAM yang dimilikinya jaul lebih mulia dari pada semua yang mereka
perlihatkan, kemewahan diatas kekufuran dan kefasikan tak ubahnya kain sutra
yang dibungkuskan kepada mayat yang busuk.
Itulah Izzah yang semestinya
dimiliki atau diwarisi oleh setiap Muslim. Sayangnya karakter Rib’i bin Amir
saat ini seperti punah. Tidak sedikit umat Islam yang justru minder dengan apa
yang ada didalam Islam dan silau dengan
yang lain. Krisis percaya diri menggejala dalam hal pemikiran, peradaban,
bahkan budaya dan moralitas. Kebanyakan malah beramai-ramai mengadopsi
pemikiran barat, peradaban dan kebudayaannya, bahkan nilai dan ukuran moralnya,
seakan-akan Islam miskin dengan semua itu, atau kalaupun ada dianggap sudah
usung.
Kondisi ini semakin kritis, kekadar
untuk menunjukkan identitas diri dan syiar kepada sesama muslim sekalipun
merasa minder. Untuk berjilbab, menghidupkan sunnah Nabi saw, shalat berjama’ah
dimasjid (bagi laki-laki), rajin mengaji, menjadi aktivis masjid, tidak sedikit
yang enggan karena minder. Seharusnya mereka belajar dari kisah Rib’i bin Amir
Radhiyallahu Ahnu. Sudah sepatutnya lah kita saat ini untuk berani menunjukkan
identitas kita sebagai seorang Muslim maupun Muslimah sejati dengan membuang
jauh-jauh rasa minder dan sebagainya.
Minder atau kurang percaya diri
disebut juga dha’fu ats tsiqqah bin nafsi. Suatu perasaan yang memandang rendah
dan kecil terhadap apa yang dimiliki, dibandingkan dengan yang ada pada orang
lain atau tuntutan situasi.
Jika seorang Muslim atau Muslimah
merasa minder dengan ke-Islaman dan Syi’arnya, maka pasti ada yang salah dengan
persepsinya tentang Islam. Ia memandang pasti ada yang kurang dengan Islam dan
atau ada yang lebih baik dari Islam dan lebih pantas dibanggakan hingga mampu
menumbuhkan rasa percaya diri. Errornya terletak pada persepsinya, bukan
Islamnya. Sebab Islam adalah sesuatu yang tinggi nilainya dan lebih dari cukup
sekadar untuk menumbuhkan rasa percaya
diri pada seseorang. Lebih dari motor atau mobil mewah yang membuat
pengendaranya mendongak saat mengendarainya, lebih dari gelar akademis yang
bisa membuat pemiliknya pede tampil dimana-mana dan ingin gelarnya selalu
dipajang, lebih dari muka rupayan yag membuat pemiliknya bisa pede bertemu
seiapa saja, dan lebih dari segalanya seperti yang kita temukan pada sosok
seperti Rib’i bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu.
الاسلام يعلو ولايعلى عليه
Artinya : “ Islam itu tinggi dan
tidak ada yang bisa menandingi ketinggiannya “ (H.R ad-Daruquthni dari Sahabat ‘Aidh
bin ‘Amru).
Islam adalah satu-satunya agama yang
diridhai Allah, Allah Ta’ala berfirman :
ان الدين عندالله الأسلام
Artinya
: “ Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam “ (Q.S ali-Imran
19).
Islam adalah satu-satunya jalan
keselamatan dan kemuliaan, keluhuran yang tertinggi yang tidak tertandingi
nilainya. Agama yang menyentuh berbagai aspek kehidupan dan terdapat kebaikan
dan mashlahat dalam setiap detail ajarannya. Dengan begitu, kesalahan persepsi
diatas disebabkan oleh minimnya pengetahuan sesorang terhadap Islam serta
dangkalnya ma’rifat (pengenalan) terhadap nilai-nilai mulia yang terkandung
didalam ajaran Islam.
Tapi itulah relaita umat Islam hari
ini. Kemuliaan Islam justru terhalangi oleh umatnya sendiri. Kiranya benarlah
apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh : “ al-Islamu Mahjubun bil Muslimin “ ,
Islam itu justru terhalang sinar kemuliaannya oleh kaum Muslimin sendiri. Malah
kaum Muslimin/Muslimah sibuk mengais-ais nilai pemikiran dari budaya dan TONG
SAMPAH peradaban kafir dari pada menggali emas dan mutiara yang ada dalam Islam
itu sendiri. Lebih pede beratribut, beridentitas dan bergaya meniru orang kafir
dan orang-orang yang tak menganggap penting agama dari pada mengenakan atribut
Islam yang mulia dan berfaedah. Dan kini Islam seperti tengah mengalami gerhana
hingga sinarnya meredup dan bahkan hampir sirna. Wallahu Musta’an,semoga Allah
segera membangkitkan keadaran umat ini akan keagungan nilai-nilai pada Agama
Islam yang telah mereka anut. Lalu mereka berseru “saksikanlah, kami adalah
para pemeluk Islam”.
Ya Ayyuhal Muslimun,,,,,, janganlah
silau dengan keindahan dunia, sesungguhnya nikmat yang terbesar adalah nikmat
Iman dan Islam. Nikmat Iman dan Islam jauh lebih berharga dari bumi dan isinya.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi
kita semua, untuk lebih mencintai apa-apa yang ada di dalam Islam itu sendiri.
Oleh
: al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy / Abdullah al-Qurthubi al-Zuhaily.
والله تعالى اعلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar