A.
Hukum Shalat Berjama’ah Dengan Dua Imam
Adapun
permasalahan yang dimaksud oleh judul di atas adalah sebagai berikut, misalnya
ada 5 orang yang masbuq, kemudian mereka mendapati imam dalam satu keadaan
tertentu,seperti imam sedang sujud. Kemudian mereka bertakbir dan sujud
mengikuti imam. Setelah imam salam, salah seorang diantara mereka ada yang maju
untuk menjadi imam. Secara singkat dapat difahami bahwa orang-orang yang shalat
masbuq tersebut berimam dengan dua imam yang mana imam yang kedua adalah salah
seorang diantara mereka.
Menurut kami para
pemakalah, pemasalahan ini sangat sukar sekali untuk dibahas karena sedikit
sekali kitab-kitab yang membahas masalah tersebut. Kami hanya mampu temukan
dari beberapa kitab saja dan dalam kitab-kitab tersebut kami tidak menemukan
adanya dalil yang berkenaan dengan masalah tersebut. Jadi dalam masalah ini
kami hanya menuqil pendapat Ulama’ saja tanpa ada dalil yang menjelaskannya.
Disebutkan didalam kitab Hasyiah
I’anatuth-thalibin :
ولا
قدوة بمقتد ولواحتمالا وان بان اماما وخرج بمقتد من انقطعت قدوته كان سلم الأ مام
فقام مسبوق فاقتدى به آخر صحت اوقام مسبوقون فاقتدي بعضهم ببعض صحت ايضا علي
المعتمد لكن مع الكراهه
Artinya : “ dan tidak sah
mengikut dengan orang yang mengikut, walaupun secara dugaan saja, dan keluar
dari kata-kata : “orang yang sedang mengikut” orang yang terputus perikutannya
seperti imam telah memberi salam, maka berdirilah masbuq, maka mengikuti
dengannya orang lain, sahlah perikutannya itu, atau berdiri beberapa orang
masbuq, maka mengikutilah setengah mereka kepada setengahnya, sah lah shalat
mereka atas qaul yang mu’tamad akan tetapi makruh dilakukan[1]
“.
Apabila imam sudah salam, sedangkan
diantara ma’mum ada yang masbuq, lalu mereka mengajukan salah seorang diantara
mereka agar menjadi imam untuk menyempurnakan shalat. Didalam Madzhab Syafi’I
sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam ar-Rafi’I dan pengarang kitab ar-Rawdhah
hukumnya tidak boleh[2].
Jadi dari keterangan-keterangan
dapat disimpulkan bahwa shalat berjama’ah dengan dua imam yaitu menjadikan
salah seorang yang masbuq menjadi imam setelah imam yang pertama salam hukumnya
adalah makruh menurut madzhab Syafi’i.
B.
Permasalahan-Permasalahan Shalat Masbuq.
Apabila
seorang makmum dating kemesjid atau kesuatu jama’ah atau mendapati imam sedang
shalat, maka hendaklah ia masuk kedalam shalat dengan bertakbiratul ihram lalu
mengikuti imam sebagaimana Rasulullah saw bersabda :
اذا
اتي احدكم الصلاة والامام على حال فليصنع كما يصنع الامام
Artinya : “ apabila kamu ingin
melaksanakan shalat, sedang imam dalam satu keadaan, maka hendaklah kamu
perbuat apa yang diperbuat imam “ (H.R Turmudzi)[3].
Hadits ini menunjukkan wajib kepada
orang yang dating belakangan untuk menggabungkan diri dengan imam dibagian mana
saja imam berada. Jikalau imam sedang ruku setelah takbiratul ihram ia (orang
yang masbuq) langsung ruku’ juga bersama imam.
Seseorang dikatakan mendapatkan satu
raka’at apabila ia mampu ikut ruku; bersama imam, hal ini adalah pendapat empat
Madzhab, akan tetapi dengan syarat apabila makmum yang masbuq tersebut mampu
ikut ruku’ bersama imam dengan disertai thuma’ninah. Namun, jikalau ia mampu
ruku’ bersama imam namun tidak mendapatkan thuma’ninah karena ketika itu ia
baru saja ruku’ kemudian imamnya keburu bangun dari ruku’nya, maka hampalah
atau sia-sialah raka’at itu baginya.
فتسقط
عنه الفاتحة كلها ان ادراك الأمام في الركوع او بعضها ان ادركه في القرأة
Artinya : “ maka gugurlah
daripada masbuq kewajiban membaca al-Fatihah seluruhnya, jika ia mendapatkan
imam didalam ruku’ atau sebagiannya, jika ia dapatkan ia dalam membaca[4]”
C.
Syarat-Syarat Mengikuti Imam
Agar
seorang makmum mendapatkan pahala shalat berjama’ah hendaklah ia mengetahui
syarat-syarat mengikuti imam. Adapun syarat-syarat mengikuti imam ada sebanyak
12 macam, apabila salah satu diantara ke-12 macam tersebut ada yang tidak
dipenuhi maka makmum tersebut tidak mendapatkan pahala berjama’ah.
شروط الأقتداء اثنا عشر , الأول نية الأقتداء أو نحوها
Artinya : “ Syarat mengikuti imam ada
12 macam, yang pertama adalah niat mengikuti imam “.
Maksudnya
yaitu hendaklah seorang makmum meniatkan dengan “ مأموما “. Dalam shalat fardhu yang lima meniatkan “ مأموما “ dalam shalat berjama’ah hukumnya sunnat, “,
apabila seorang makmum tidak meniatkan demikian shalatnya tetap sah akan tetapi
ia tidak mendapatkan pahala berjama’ah itu artinya ia dihitung munfarid (shalat
sendiri), namun dalam shalat jum’at hukumnya wajib meniatkan “مأموما”.
ولثانى متابعته لأمامه بأن يتأخر تحرمه عن جميع تحرم امامه
Artinya : “ yang kedua adalah
takbiratul ihram makmum setelah selesai takbiratul ihramnya imam “.
Maksudnya
adalah makmum melakukan takbiratul ihram apabila imamnya telah selesai
melakukan takbiratul ihram baik gerakan maupun ucapan (lafadz). Apabila makmum
melakukan takbiratul ihram sementara imam belum selesai melakukan takbiratul
ihram baik dari gerakan maupun ucapan (lafadz) maka tidak sah shalat berjama’ah
makmum tersebut.
والثالث العلم بانتقالات الأمام , كرؤيته له أو لبعض الصف
Artinya
: “ yang ketiga adalah mengetahui perpindahan imam , seperti melihat gerakan
imam atau melihat gerakan shaf “.
Maksudnya
adalah hendaklah seorang makmum harus mengetahui gerakan tubuh imam, ini adalah
sebuah keharusan, untuk mengetahui perpindahan imam bisa dengan melihat
langsung gerakan imam, melihat gerakan shaf, mendengar suara imam atau
mendengar suara muballigh.
الرابع موافقة صلاة المأموم صلاة الأمام في لأفعال الظاهرة
Artinya
: “ yang ke empat adalah bentuk shalat makmum sesuai dengan shalat imam
dalam hal gerakan yang zhahir “.
Maksudnya
adalah sesuai atau sama nazhamnya shalat makmum dengan imam. Misalnya imam
shalat fardhu makmum shalat fardhu, atau imam shalat fardhu makmum shalat
sunnah, atau imam shalat sunnah makmum shalat fardhu, atau imam shalat fardhu
makmum shalat qadha, atau imam shalat ashar makmum shalat zhuhur. Akan tetapi
apabila nazhamnya tidak sama misalnya imam shalat jenazah, atau shalat khusuf
(gerhana) makmumnya shalat fardhu maka hukumnya tidak sah shalat makmum
tersebut.
والخامس اجتماعهما بمكان واحد
Artinya
: “ yang kelima makmum dan imam berkumpul dalam satu tempat “
والسادس ان لا يخالفه في سنن تفحش المخالفة فيها
Artinya
: “ yang ke enam makmum tidak berbeda dengan imam pada sunnat-sunnat shalat
“
Maksudnya
adalah apabila imam melakukan sunnat-sunnat shalat maka disyaratkan makmum
tidak berbeda dengan imam itu artinya imam hendaklah mengikuti perkara-perkara
sunnat dalam shalat, misalnya apabila imam membaca ayat-ayat yang terdapat
perintah untuk melakukan sujud tilawah maka apabila imamnya melakukan sujud
tilawah makmum wajib melakukan sujud tilawah karena mengikuti imam.
والسابع ان لا يتقدم على امامه في الموقف
Artinya
: “ yang ke tujuhtempat berdiri makmum tidak boleh lebih terdahulu dari
tempat imam”
Maksudnya
adalah posisi makmum tidak berada didepan imam dan yang menjadi acuan untuk
mengukur lurusnya shaf adalah dengan melihat tumit para makmum sejajar atau
tidak.
والثامن ان تكون صلاة الأمام صحيحة في اعتقاد المأموم
Artinya
: “ yang kedelapan bahwa adalah shalat imam shah menurut keyakinan makmum “.
والتاسع ان لا يقتاد بمن تلزمه الأعادة
Artinya
: “ yang kesembilan bahwa makmum tidak meyakini bahwa shalat imam wajib
diqadha “
والعاشر ان لا يكون الأمام مقتديا , لانه تابع فلا يكون متبوعا
Artinya
: “ yang kesepuluh adalah tidak bermakmum kepada orang yang sedang bermakmum
kepada orang lain, sedang dia sedang mengikuti imamnya, maka bagaimana mungkin
bermakmum kepadanya “.
والحادى فلا يجوز ان يقتدى ذكر بأنثى
Artinya
: “ yang kesebelas adalah laki-laki tidak boleh bermakmum kepada wanita “.
والثاني عشر ان ل يكون الامام اميا
Artinya
: “ yang ke dua belas adalah bagi orang yang qari’ (baik bacaan
al-fatihahnya) tidak bermamkmum dengan orang yang ummi, yaitu orang yang tidak
bisa melafalkan huruf-huruf dalam surah al-Fatihah dengan baik, kecuali jika
kemampuan makmum juga demikian adanya[5] “.
[1] Asy-Syaikh Sayyid al-Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyati, Hasyiah
I’anantuth Thalibin , Juz II, h.50.
[2] Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah
al-Ummah fi Ikhtilaf al-a‘immah, al-Haramain li ath-Thiba’ah wa an-Nasya wa
at-Tawzi’, Jeddah, h.80.
[3]
Asy-Syaikh Abu al-Ula Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarak Furi, Tuhfatu
al-Ahwadzi, Maktabah Syamilah, Juz III. H. 162.
[4] Asy-Syaikh Syihabuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin Hamzah bin Ahmad
al-Anshari al-Ramli, Syarah Sittin ar-Ramli, Darul Fikr, Beirut, h. 46.
[5] Asy-Syaikh Muhammad amin al-Kurdi al-Irbali asy-Syafi’I, Tanwiru
al-Qulub fi Mu’amalati ‘alamil Ghuyub, al-Haramain Indonesia, h. 161-163.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar