A.
Syarat
Sah Puasa
Syarat
sah puasa ada tujuh, yaitu sebagai berikut :
1.
Niat
puasa setiap hari, untuk puasa fardhu niat puasa dilakukan pada malam hari,
tidak demikian halnya dengan puasa sunnah. Niat puasa sunnah boleh dilakukan
sebelum tergelincir matahari kea rah barat. Hal tersebut berdasarkan Hadits
shahih bahwa suatu hari Rasulullah saw bertanya kepada’Aisyah r.anhuma : “
apakah kalian mempunyai makanan untuk sarapan? ‘Aisyah menjawab : “Tidak” kalau
begitu aku akan berpuasa jawab Nabi saw”.
Wajib
menentukan jenis puasa seperti dalam puasa fardhu misalnya puasa Ramadhan ,
nadzar atau kafarat, dalam puasa sunnah yang mempunyai sebab misalnya puasa
memohon hujan (istisqa’) tanpa menunggu intruksi pemerintah atau puasa dalam
puasa pada waktu – waktu tertentu seperti puasa hari senin, arafah, asyura,
atau ayyamul bid (pertengahan bulan). Penentuan niat puasa selain puasa fardhu
bertujuan agar memperoleh pahala khusus, bukan berarti sahnya puasa bergantung
pada hal tersebut.
Kewajiban
diatas tanpa menyertakan niat kefardhuan pada puasa fardhu, sebab ini tidaklah
wajib. Karena puasa ramadhan yang dilakukan orang yang baligh sudah pasti
fardhu.
2.
Menahan
diri dari melakukan hubungan intim secara sengaja.
3.
Menghindari
muntah secara sengaja, berbeda dengan muntah yang tidak sengaja. Apabila ia
muntah tanpa disengaja puasanya tidak batal.
4.
Mencegah
masuknya benda apapun kedalam lubang tubuh yang terbuka (yaitu hidung, telinga,
putting, atau kemaluan dan anus) dan sesuatu seperti lubang yaitu bagian dalam otak, perut, usus (saluran
pencernaan), kandung kemih, luka kepala yang menembus otak, perut , luka
menembus perut dan semacamnya. Akan tetapi minyak wangi, celak, tetesan air
mata, serta serapan air ketika mandi, tidak membatalkan puasa.
Apabila
seseorang makan dan minum, baik sedikit ataupun banyak karena lupa atau karena
dipaksa atau tidak tahu bahwa hal tersebut membatalkan puasa, maka puasa orang
tersebut tidaklah batal. Namun dalam masalah ini orang yang tidak tahu tidak
diberikan toleransi kecuali jika dia baru masuk Islam atau berdomisili didaerah
terpencil yang jauh dari ‘Ulama.
Puasa
seseorang tidak batal sebab kemasukan debu jalanan atau sejenis serbuk seperti
tepung, mencium atau mencicipi makanan tidaklah membatalkan puasa.
5.
Beragama
Islam
6.
Suci
dari haid dan nifas
7.
Berakal
sempurna (baligh) dan tidak gila. Pingsan atau mabuk yang terjadi akibat
tindakan gegabah (misalnya orang yang berpuasa mengonsumsi atau menggunakan
sesuatu yang ternyata memabukkan) hal itu tidak membatalkan puasa.
B.
Hal-Hal
Yang Membatalkan Puasa
Batasan hal yang
membatalkan puasa adalah masuknya segala sesuatu (padat atau cair, bukan gas)
dari bagian luar tubuh kebagian dalam tubuh melalui lubang yang terbuka, dengan
disengaja dan dalam kondisi ingat sedang berpuasa. Seandainya seseorang yang berpuasa meneteskan
sesuatu atau memasukkan tusuk celak, lidi, atau jarinya kedalam telinganya maka
puasanya batal. Begitu juga jika ia menyumbat penis atau anusnya, atau
menyumpat vagina dengan kapas, menurut pendapat yang ashah, puasanya batal.
Puasa tidak batal sebab memakai celak atau obat tetes mata walaupun rasanya
terserap ditenggorokan, sebab mata bukan rongga dan tidak mempunyai lubang yang
menembus kebagian dalam tubuh.
Hal-hal yang
membatalkan puasa adalah sebagai berikut :
1.
Makan
atau minum walaupun sedikit.
2.
Sampainya
sesuatu kedalam perut, seperti bekas tikaman dan obat. Andaikata ada orang
menusukkan sebilah pisau ke dalam daging betisnya, hal itu tidak membatalkan
puasanya sebab daging tersebut tidak termasuk bagian dalam. Namun jika
seseorang menusukkan pisau kearah perut, maka hal itu membatalkan puasanya
karenan perut adalah rongga dalam.
3.
Muntah
dengan sebab sengaja
4.
Menelan
dahak yang berasal dari rongga kepala, padahal ia mampu mengeluarkannya.
Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Kemudian apabila ludah itu sudah
bercampur dengan benda lain, baik benda lain itu suci seperti memilin benag
berwarna dengan mulut, atau berupa benda najis seperti gusi yang berdarah dan
ludah yang telah berubah karena darah, dapat membatalkan puasa tanpa khilaf.
Andaikata darahnya sudah hilang dan ludah sudah berubah menjadi putih, jika
ludah tesebut ditelan menjadi batal puasanya dan mulutnya menjadi najis. Dan
tidak dapat mensucikan mulut tersebut dengan berkumur-kumur.
Andaikata
ludahnya keluar sampai batas bibir, lalu dikembalikan lagi dengan lidah kemudian
di telan, maka batal puasanya. Berbeda jika orang itu menjulurkan lidahnya
keluar dan dipucuk lidahnya terdapat ludah yang belum berpisah, lalu ludah itu
ditelan, menurut qaul shahih puasanya tidak menjadi batal. Kemudian batal puasa
seseorang apabila menelan sesuatu yang menyelip digigi, padahal ia bisa
membuangnya, namun jika ia tidak mampu membuangnya tidak membatalkan puasa.
5.
Berkumur
atau istinsyaq yang dilakukan secara berlebihan sehingga masuk kedalam
tenggorakan dapat membatalkan puasa. Akan tetapi jika berkumur-kumur dan
istinsyaq yang dilakukan tidak secara berlebihan namun ada yang yang tertelan
itu tidaklah membatalkan puasa.
6.
Bersenggama
7.
Ejakulasi
(keluar mani) dengan sebab sentuhan (onani), rabaan wanita atau lainnya,
ciuman, atau bercumbu, itu juga membatalkan puasa. Jika tidak ada unsure
sentuhan misalnya ejakulasi sebab berkhayal, mimpi basah, atau memandang penuh
syahwat, maka tindakan tersebut tidak membatalkan puasa. Menurut pendapat yang
ashah , mencium yang sampai menggerakkan syahwat hukumnya makruh tahrim bagi
orang yang berpuasa.
8.
Haid
atau nifas.
9.
Menyuntikkan
obat melalui anus atau kemaluan. Atau menggunakan obat hirup melalui hidung[2].
10. Terserang gangguan jiwa, karena dalam
kondisi itu orang tersebut tidak lagi dikatakan sebagai mukallaf, namun semaput
(pitam) tidak membatalkan puasa.
11. Murtad.
C.
Udzur
Yang Membolehkan Tidak Berpuasa
Kita boleh tidak
berpuasa apabila hal tersebut sesuai dengan Syar’I, adapun hal-hal yang
membolehkan kita tidak berpuasa menurut Syar’I adalah sebagai berikut :
1.
Sakit
yang memperbolehkan tayammum, yaitu sakit yang menyebabkan seseorang sangat
berat untuk berpuasa atau dikhawatirkan sakitnya bertambah parah jika berpuasa.
2.
Perjalanan
jauh yang mubah. Akan tetapi kita tidak boleh membatalkan puasa jika melakukan
perjalanan setelah fajar terbit, namun apabila seseorang melakukan perjalanan
sebelum fajar terbit dia boleh berbuka puasa, meskipun pada malam harinya telah
berniat puasa. Akan tetapi ketika seorang anak menginjak usia baligh, musafir
telah sampai tujuan , sementara mereka sedang berpuasa, maka mereka haram
berbuka. Jika tidak dalam keadaan berpuasa, mereka disunnahkan untuk imsa’
(menahan diri dari makan dan minum).
Maka
orang yang sakit, musafir, murtad, wanita yang haid atau nifas, orang yang
pingsan, dan orang mabuk, wajib mengqadha puasanya. Qadha puasa disunnahkan
untuk dilakukan secara berturut-turut dan segera mungkin, kita tidak boleh
menunda qadha puasa hingga ramadhan berikutnya tanpa uzur. Jika dia menunda
Qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya, maka selain mengqadha puasa ia juga
harus mengeluarkan satu mud makanan untuk satu hari puasa. Jika dia menunda
sampa dua Ramadhan berikutnya, dia harus mengeluarkan 2 mud makanan dan
seterusnya.
والله اعلم
[1] Makalah
ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy asy-Syafi’I pada
Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada
tanggal Sya’ban 1435 H bertepatan
tanggal 14 Juni 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
Materi ini
merupakan kajian dari kitab :
-
Kifayatul-Akhyar fi Jalli
Ghayati al-Ikhtishar
oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini.
-
Al-Fiqhu asy-Syafi’I
al-Muyassar
oleh asy-Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar