[1]
A.
Pengertian
dan Metode Menentukan Awal Ramadhan (Puasa)
Puasa
menurut lughah (bahasa) artinya menahan diri dari sesuatu. Sedangkan menurut Syara’ (istilah) artinya
menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa sehari penuh dengan
cara yang sudah ditentukan. Atau secara terperinci puasa adalah menahan diri yang
tertentu, oleh orang tertentu dalam waktu tertentu dan dengan syarat-syarat
tertentu.
Wajibnya
puasa Ramadhan berdasarkan al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’. Adapun firman Allah
Ta’ala adalah :
Artinya
: “ Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa “(Q.S
al-Baqarah 183).
Adapun
dalam Hadits disebutkan :
Artinya
: “ Islam tegak atas lima perkara….(disebutkan antara lain) puasa dibulan
Ramadhan “ (H.R Bukhari dan Muslim). Dan ijma’ telah menetapkan bahwa
wajibnya atas puasa Ramadhan.
Puasa
pertama sekali diwajibkan pada bulan Sya’ban tahun 2 H. diantara keutamaan
bulan Ramadhan yaitu bulan pertama kali al-Qur’an diturunkan. Dalam Hadits
disebutkan : “ Bulan Ramadhan adalah tuan dari bulan-bulan yang lain “
(H.R Thabrani dalam kitabnya al-Kabir).
Puasa
Ramadhan wajib dilaksanakan bila Bulan Sya’ban telah genap tiga puluh hari[2], atau bila seorang muslim
yang adil atau dua orang yang adil melihat hilal[3] dan melihat kesaksian
dihadapan hakim, dan jika hilal terlihat disuatu wilayah secara otomatis
besoknya wajib berpuasa, meskipun hitungan bulan Sya’banya hanya 29 hari.
Dalam
menentukan awal bulan Ramadhan didahulukan metode ru’yatul hilal
daripada metode hisab, adapun dalilnya adalah firman Allah swt :
Artinya : “
Barangsiapa diantara kamu melihat bulan (hilal), maka hendaklah berpuasa“
(Q. S al-Baqarah 185).
Dan Hadits
Nabi saw :
Artinya : “
Bila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika kalian telah melihat hilal,
berbukalah. Apabila posisi kalian dan bulan tertutup mendung, perkirakanlah
atau pastikan tiga puluh hari “.
Dari firman
Allah dan Hadits Ibnu Umar tersebut dapat difahami bahwa metode yang pertama
sekali didahulukan dalam menentukan awal bulan Ramadhan adalah metode ru’yatul
hilal. Dan hilal tidak bisa diketahui keberadaannya sebelum tanggal 29
Sya’ban, atau dalam menentukan hari raya idul fitri hilal tidak bisa terlihat
sebelum tanggal 29 Ramadhan. Maka dapat disimpulkan bahwa awal Ramadhan dan
Idul Fitri tidak bisa ditentukan atau diketahui sebelum masuk tanggal 29
Sya’ban dan 29 Ramadhan. Kemudian apabila ditanggal 29 Sya’ban hilal tidak
terlihat maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari itu artinya esoknya
tidak wajib berpuasa. Adapun sebagaian orang, mereka jauh-jauh hari sudah menentukan kapan waktu
awal Ramadhan dan Idul Fitri , mereka berasalan dengan kemajuan teknologi awal
bulan Ramadhan dan Idul Fitri sudah bisa ditentukan tanpa harus menunggu
terlihatnya hilal, ini adalah pendapat yang lemah karena menurut Mayoritas
Ulama’ walaupun teknologi sudah maju tapi dalam menentukan awal Ramadhan dan
Idul Fitri tetap menggunakan metode ru’yatul hilal dengan sebab keumuman
ayat Q.S al-Baqarah 185 dan Hadits dari Ibnu Umar. Wallahu a’lam. Bagi
kita wajib hukumnya mengikuti pemerintah dalam menentukan awal Ramadhan dan
‘Idul fitri.
Ketika
penduduk yang berada diwilayah yang jauh belum dikenai kewajiban puasa, lalu
ada orang yang berasal dari wilayah yang telah terlihat hilal dan telah
berpuasa pergi kewilayah tersebut, maka menurut pendapat yang ashah dia wajib
menyesuaikan dengan penduduk setempat (mengundurkan akhir puasanya), meskipun
dia telah menyempurnakan tiga puluh hari. Alasannya, perpindahannya kewilayah
tersebut menjadikan ia bagian dari mereka, dan harus mematuhi hukumnya.
Sebaliknya
orang yang bepergian dari wilayah lain kewilayah yang telah terlihat hilal, dia
berhari raya bersama penduduk wilayah itu dan mengqadha puasa satu hari.
Seorang pelaut
yang telah melangsungkan hari raya diwilayahnya, lalu perahunya terseret ombak
kewilayah yang jauh dan penduduknya masih berpuasa, menurut pendapat yang ashah,
dia harus menahan untuktidak makan dan minum (imsak) pada hari tersisa. Wallahu
a’lam
B.
Syarat-Syarat
Wajib Puasa
Orang yang
dikenai puasa Ramadhan disyaratkan harus orang yang berakal, baligh, Islam dan
mampu. Jadi, puasa tidak diwajibkan bagi orang gila dan anak kecil sebab mereka
tidak dikenai taklif (perintah agama).
Puasa juga tidak diwajibkan bagi orang yang lemah karena sudah tua renta
atau sakit parah. Adapun bagi orang yang sama sekali tidak kuat berpuasa, atau
kuat tetapi andaikata diteruskan akan membawa bahaya, maka orang itu tidak
wajib berpuasa. Akan tetapi orang itu wajib membayar fidyah yaitu satu mud[4] bahan makanan sebagai
gantinya puasa satu hari menurut qaul yang ashah yaitu jika orangnya mampu
membayar. Jadi andaikata orang itu tidak mampu membayar pada saat it, tetapi
dikemudian hari mampu, dalam hal ini ada dua pendapat ; pertama, apabila ia
dikemudian hari telah mampu maka wajib ia membayar fidyah puasanya, dan kedua,
tidak wajib membayar fidyahnya sebagaimana Hadits mengenai kaffarah jima’
ketika orangnya tidak mampu, dan Nabi saw membebaskannya dari kaffarah. Wallahu a’lam
Orang tuan
wajib menyuruh anaknya yang berumur tujuh tahun untuk berpuasa, seperti halnya
shalat, serta memukulnya pada usia sepuluh tahun jika anak tersebut meninggalkannya
padahal ia mampu.
C.
Fardhu
(Rukun Puasa)
Rukun puasa
ada tiga, yaitu orang yang berpuasa, niat puasa, dan menahan diri dari segala
hal yang membatalkan puasa[5].
1.
Niat
Puasa
Perintah niat puasa berdasarkan Hadits “ Segala
amal perbuatan harus disertai dengan niat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tempatnya niat ialah didalam hati, tidak disyaratkan harus mengucapkan atau
melafadzkannya. Niat wajib dilakukan pada malam hari (tabyit an-Niyah),
dan niat puasa dilakukan setiap malam, karena setiap hari dihitung ibadah
tersendiri. Pada ibadah lain niat
dilakukan diawal ibadah , awal ibadah puasa adalah setelah terbit fajar (adzan
subuh) mengapa niatnya wajib dimalam hari? Jawab : “ Niat puasa berbeda
dengan niat ibadah lainnya, niat ibadah puasa Ramadhan wajib dimalam hari
(tabyit an-Niyah) dan niat puasa Ramadhan disebut azzam (keinginan), Rasulullah
saw bersabda : “ barangsiapa yang tidak berniat puasa dimalam hari sebelum
fajar maka tiada puasa baginya “. (H.R Daruquthni dan al-Baihaqi dari
‘Aisyah).
Jika seseorang melakukan niat puasa bersamaan
dengan terbitnya fajar (adzan subuh) maka niatnya tidak sah, sebab niat puasa
disyaratkan dilakukan dimalam hari sebelum terbit fajar. Andaikata seorang berniat puasa untuk segenap
bulan Ramadhan , sah niatnya untuk hari pertama saja menurut Madzhab yang
kuat. Kemudian jikalau seseorang berniat
ingin keluar dari puasanya atau ingin membatalkan puasanya , maka tidak batal
puasanya menurut Qaul yang shahih selama ia tidak melakukan hal-hal yang
membatalkan puasa.
Niat puasa yang paling sempurna adalah : “
Nawaitu Shauma Ghadin ‘an ‘adai Fardhi Syahri Ramadhani Hadzihi as-Sanati
Lillahi Ta’ala”. Artinya (sengaja aku niat puasa esok hari untuk menunaikan
kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala). Niat ‘ada atau Qadha
hukumnya sunnah. Orang yang hendak
berpuasa cukup menggetarkan kata “puasa” dalam hati.
2.
Menahan
Diri Dari Sesuatu Yang Membatalkan Puasa
Menahan diri dari hal yang membatalkan puasa,
antara lain : makan dan minum (walaupun sedikit), seperti makan biji-bijian
secara sengaja, atau mengkonsumsi sesuatu yang serupa dengan makanan seperti
obat-obatan dan rokok.
Yang menjadi patokan adalah puasa menjadi batal
dengan masuknya suatu benda melalui lubang yang terbuka dengan sengaja dan
ingat akan puasanya.
Syarat “dalam badan” ialah masuk kedalam rongga
dalam. Sekalipun benda yang masuk itu tidak berubah warna,demikian yang shahih.
Sehingga andaikata ada seseorang meneteskan suatu benda cair kedalam telinganya
atau memasukkan pencelak mata atau jerami kedalam telinga dapat membatalkan
puasa.
Begitu pula temasuk rukun puasa ialah menahan diri
dari muntah yang disengaja, apabila seseorag muntah dengan sengaja, maka
puasanya menjadi batal.
3.
Mengetahui
Awal dan Akhir Puasa
Pengetahuan awal dan akhir puasa harus
diketahui secaragaris besar demi keabsahan puasa. Jika seseorang niat puasa
setelah terbit fajar maka puasanya tidak sah atau dia makan dan yakin masih
malam padahal telah terbit fajar, dia harus mengqadha puasanya. Demikian halnya seandainya dia makan dan
yakin sudah masuk waktu malam, ternyata belum, maka dia wajib mengqadha
puasanya.
والله اعلم
[1] Makalah
ini disampaikan oleh al-Faqir ilallah Sumitra Nurjaya al-Jawiy asy-Syafi’I pada
Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 7
Sya’ban 1435 H bertepatan tanggal 7 Juni 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu
II A.
Materi ini
merupakan kajian dari kitab :
-
Kifayatul-Akhyar fi Jalli
Ghayati al-Ikhtishar
oleh al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini.
-
Al-Fiqhu asy-Syafi’I
al-Muyassar
oleh asy-Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaily.
[5] Didalam
kitab Kifayatul Akhyar ditambahkan satu rukun lagi yaitu mengetahui awal dan
akhir puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar