PANDANGAN HUKUM ISLAM
TENTANG EUTHANASIA[1]
Sudah menjadi fitrah manusia jika
ingin hidup sehat, baik fisik maupun mental. Namun keinginan manusia itu tidak
selalu terpenuhi. Dalam hidupnya manusia terkadang sakit atau menderita suatu
penyakit. Ada yang menderita penyakit yang tergolong berat dan sukar, ada pula
yang menderita suatu penyakit ringan atau mudah disembuhkan. Dari
penyakit-penyakit baik ringan maupun berat dianjurkan oleh agama untuk
mengobatinya, karena sebagaimana sabda Rasulullah saw yang artinya : “tidaklah
Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan ia menurunkan pula obatnya”[2].
Orang-orang yang menderita suatu
penyakit yang berat, ada yang sabar serta tidak berputus asa dalam
menghadapiinya disertai dengan usaha untuk menyembuhkannya. Tidak sedikit pula
yang tidak sabar dan tabah, bahkan ada yang berputus asa dalam menghadapi
penyakitnya. Setelah ia mengetahui bahwa penyakit sukar atau bahkan tidak dapat
disembuhkan, timbul dalam fikirannya bahwa usaha apa pun akan sia-sia,
menghabiskan biaya saja, sedangkan penyakitnya tidak sembuh-sembuh juga. Hal
ini menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Ia ingin
mempercepat kematiannya agar segala penderitaannya dapat berakhir. Faktor
penyebab kematian seperti ini bersifat intern.
Keinginan untuk mempercepat kematian
seperti itu bukan saja dari si sakit, terkadang berasal dari keluarganya,
bahkan dari dokter yang merawatnya. Usaha-usaha atau tindakan untuk mempercepat
kematian guna mengakhiri penderitaan karena penyakit itulah yang disebut dengan
Euthanasia. Sehubungan dengan ini, saya ingin mengkaji hukumnya menurut
pandangan Islam, yaitu bagaimana Pandangan Hukum Islam tentang Euthanasia?.
A. Pengertian Euthanasia dan Macam-Macamnya
Kata Euthanasia berasal dari
bahasa Yunani, yaitu kata “eu” artinya baik, bagus dan thanotos artinya
mati. Euthanasia artinya mati yang baik tanpa melalui proses kematian dengan
rasa sakit atau penderitaan yang berlarut-larut[3]. Dalam kamus Inggris – Indonesia disebutkan,
bahwa euthanasia termasuk kata benda yang berarti tindakan mematikan orang
untuk meringankan penderitaan orang yang sekarat[4].
Dalam istilah medis, Euthanasia berarti membantu mempercepat kematian agar
terbebas dari penderitaan[5].
Menurut Dr. H.Ali Akbar , Euthanasia
mempunyai pengertian :
1. Kematian
yang mudah dan tanpa sakit
2.
Usaha untuk
meringankan penderitaan orang yang sekarat dan bila perlu untuk mempercepat
kematiannya.
3. Keinginan
untuk mati dalam arti yang baik[6].
Dari penegrtian-pengertian tersebut
diatas dapat disimpulkan, bahwa euthanasia adalah usaha dan bantuan yang
dilakukan untuk mempercepat kematian seseorang yang menurut perkiraan sudah
hampir mendekati kematian, dengan tujuan meringankan atau membebaskannya dari
penderitaannya.
Euthanasia dapat dibagi dua macam,
yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif (positif) adalah
apabila seorang dokter melihat pasiennya dalam keadaan penderitaan yang sangat
berat karena penyakitnya yang sangat sulit disembuhkan dan menurut pendapatnya
penyakit terssebut akan mengakibatkan kematian dan karena rasa kasihan terhadap
si penderita ia melakukan penyuntikan untuk mempercepat kematiannya.
Euthanasia pasif (negatif) adalah
apabila dokter tidak memberikan bantuan secara aktif untuk mempercepat proses
kematian si pasien. Jika seorang pasien menderita penyakit dalam stadium
terminal, yang menurut dokter sudah tidak bisa lagi disembuhkan, maka
kadang-kadang pihak keluarga tidak tega melihat seorang anggota kelurganya
berlama-lama menderita dirumah sakit, lalu meminta kepada dokter untuk
menghentikan pengobatannya. Akibatnya sipenderita meninggal.
B. Hukum Euthanasia
Syariat Islam menghormati dan
menjunjung tinggi hak hidup bagi manusia. Setiap perbuatan menghilangkan hidup
(nyawa), baik oleh orang lain maupun oleh diri sendiri dilarang dengan tegas
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dalam kitab suci al-Qur’an banyak
ayat-ayat yang melarang pembunuhan, bahkan mengancamnya dengan hukuman.
Ayat-ayat tersebut antara lain :
1. Q.S
an-Nisa ayat 92 :
وما
كان لمؤمنين ان يقتل مؤمنا الا خطئا ومن قتل مؤمنا خطئا فتحرير رقبة مؤمنة ودية
مسلمة الى اهله الآانيصدقوا . . .
Artinya : “ dan
tidak boleh seorang mukmin membunuh orang mukmin yang lain, kecuali karena
kesalahan. Barangsiapa membunuh orang mukmin karena kesalahan, maka ia wajib
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarganya, kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) menyedekahkannya “.
2.
Q.S an-Nisa
ayat 93 :
ومن
يقتل مؤمنا متعمدا فجزآؤه جهنم خلدا فيها وغضب الله عليه ولعنه واعدله عذابا عظيما
Artinya :
“Barangsiapa membunuh orang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka
jahannam, ia kekal didalamnya. Allah mengutuknya dan menyediakan baginya
siksaan yang pedih”.
Dalam Hadits-Hadits Nabi saw larangan
pembunuha ini dipertegas oleh Rasulullah saw, antara lain :
Dari Ibnu Mas’ud ra, ia berkata
:”telah bersabda Rasulullah saw :
لايحل دم امرئ مسلم , يشهدان لا
اله الا الله واني رسول الله , الا بأحدى ثلاث : النفس بالنفس , و الثيب الزانى ,
والمفارق لدينه , التارك للجماعة (رواه البخارى و مسلم )
Artinya : “ Tidak halal darah
seseorang yang bersyahadat, kecuali dengan salah satu dari tiga perkara yaitu
janda atau duda yang berzina, orang yang melakukan pembunuhan dan orang yang meninggalkan
agamanya dan memisahkan diri dari jama’ah (H.R Bukhari dan Muslim).
Disamping melarang untuk melakukan
pembunuhan terhadap orang lain, syariat Islam juga melarang untuk melakukan
perbuatan bunuh diri, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 195 yang berbunyi :
Artinya : “ Dan bernafkanlah kamu
pada jalan Allah dan janganlah kamu lemparkan dirimu kedalam kebinasaan dan
berbuat baiknya, sesungguhnya Allah suka kepada orang – orang yang berbuat baik
“. (Q.S al-Baqarah : 195).
Dalam ayat lain Allah berfirman pula
yang artinya sebagai berikut :
Artinya : “ Dan janganlah kamu
membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah sangat sayang kepadamu “ (Q.S
an-Nisa : 29).
Dari ayat-ayat dan Hadits – Hadits
tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa euthanasia khususnya euthanasia aktif
dimana seorang dokter melakukan upaya aktif membantu untuk mempercepat kematian
seorang pasien, yang menurut perkiraannya sudah tidak dapat bertahan hidup,
meskipun atas permintaan si pasien maupun keluarganya dilarang menurut Syari’at
Islam, karena perbuatan tersebut tergolong dalam pembunuhan dengan sengaja.
Oleh sebab itu , tindakan euthanasia menurut hukum Islam dianggap sebagai
perbuatan terlarang dan hukumnya adalah haram.
Pembunuhan yang dibolehkan menurut Hadits
Nabi saw, telah dikemukan oleh asy-Syaikh Prof. Mahmud Syaltut bahwa dengan
melihat maksud dan tujuannya, pembunuhan yang dibolehkan oleh syara’ (Islam)
dapat dirumuskan dalam tiga segi :
1. Segi
pelaksanaan perintah atauu kewajiban, seperti pelaksanaan hukuman mati oleh
algojo atas perintah pengadilan/hakim.
2. Segi
pelaksanaan hak, yang meliputi :
a. Hak
wali si korban dengan pelaksanaan Qishash.
b. Hak
penguasa untuk menghukum bunuh perampok/pengganggu stabilitas keamanan.
3. Segi
pembelaan, baik terhadap diri, kehormatan, maupun terhadap harta benda[7].
Dari tiga segi pembunuhan yang
dibolehkan dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh asy-Syaikh Prof.Mahmud
Saltut diatas, euthanasia tidak termasuk didalamnya. Dengan demikian,
euthanasia aktif jelas dilarang
oleh Islam.
Adapun euthanasia yang dilakukan
dokter dalam rangka menyelamatkan ibu yang akan melahirkan dengan jalan
mematikan bayi yang akan dikandungnya, pada saat diketahui proses kelahiran
bayi itu mengakibatkan hilangnya nyawa ibu, ini dibolehkan karena darurat
berdasarkan qaidah :
الضرورات
تبيج المحظورات
Artinya : “ Keadaan darurat dapat
membolehkan perbuatan yang dilarang “.
ارتكاب
أخف الضرورين واجب
Artinya : “ Menempuh salah satu
tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang berbahaya itu adalah wajib “.
Jadi Islam membolehkan untuk
melakukan euthanasia aktif dengan mengorbankan janin karena menyelamatkan nyawa
ibu. Nyawa ibu diutamakan , mengingat dia merupakan sendi keluarga dan telah
mempunyai hak dan kewajiban, baik terhadap Allah maupun sesama makhluk,
sedangkan si janin (bayi), sebelum ia lahir dalam keadaan hidup, ia belum
mempunyai hak seperti hak waris dan belum mempunyai kewajiban apapun.
Sehubungan dengan pengaruh keadaan
darurat tersebut asy-Syaikh Abdul Wahhab Khallaf mengatakan bahwa :
“barangsiapa yang tidak bisa
mempertahankan keselamatan dirinya kecuali dengan menyelamatkan membinasakan
orang lain, tidaklah berdosa ia dalam tindakan itu[8]”.
Selanjutnya bertalian dengan masalah
persetujuan yang diberikan dokter untuk membantu mempercepat kematiannya
dianggap tidak ada, tetapi dokter yang melakukan euthanasia dianggap melakukan
tindakan pidana atau kriminal yang harus dijatuhi hukuuman. Hanya saja mengenai
jenis hukumannya Ulama’ berbeda pendapat.
Menurut al-Imam Abu Hanifah, Abu
Yusuf, Muhammad bin Hasan dan sebagian Ulama’ Syafi’iyyah , bahwa hukuman yang
dikenakan terhadap pelaku euthanasia (pembunuhan dengan persetujuan korban)
adalah membayar diyat (membayar seratus ekor unta ataus eharga itu), dan bukan
Qishash. Dengan alasan bahwa persetujuan si korban (pasien) untuk menjadi objek
euthanasia merupakan syubhat dalam status perbuatannya dan dalam Hadits Nabi
saw, yaitu apabila dalam jarimah hudud
(termasuk didalamnya Qishash) terdapat syubhat maka hukuman bisa digugurkan
atau diganti.
Menurut Zufar salah seorang murid Abu
Hanifah dan pendapat Madzhab Maliki serta pendapat sebagian Ulama’ syafi’iyyah
hukuman yang dikenakan kepada pelaku euthanasia tersebut diatas, tetap hukuman
qishash (hukuman mati) karena persetujuan untuk menjadi obyek euthanasia
tersebut dianggap tidak pernah ada, sehingga persetujuan tersebut tidak ada
pengaruhnya sama sekali.
Sedangkan menurut pendapat imam Ahmad
bin Hanbal dan sebagian Ulama’ syafi’iyyah, bahwa pelaku euthanasia atas
persetujuan si korban dibebaskan dari hukuman, karena persetujuan pasien untuk
menjadi obyek euthanasia, sama statusnya dengan pembunuhan, baik dari hukuman
Qishash, maupun diyat maka dia bebas dari hukuman[9].
Kemudian bagaimanakah pandangan Islam
terhadap euthanasia pasif? Menurut ajaran Islam, bahwa sakit yang menimpa
seseorang itu dapat menghapuskan dosa. Meskipun demikian, bukan berarti
penyakit yang menimpa seseorang itu dibiarkan saja tanpa upaya pengobatan karena
agama Islam memerintahkan untuk megobati setiap penyakit yang menimpa manusia.
Menurut al-Imam al-Syaukani bahwa penyakit yang oleh dokter telah dinyatakan
tidak ada obatnya sekalipun, tak ada upaya untuk mengupayakan pengobatannya[10].
Apabila dokter mengatakan, bahwa
penyakit tersebut sudah tidak bisa disembuhkan atau keadaanya sudah masuk dalam
stadium terminal dan pihak pasien atau keluarganya dengan bebarapa pertimbangan
meminta atau menyetujui dihentikannya upaya pengobatan, maka penghentian pengobatan
pasien tersebut akhirnya meninggal. Dalam situasi dan kondisi yang demikian,
tindakan yang bisa dilakukan adalah bersabar dan tawakkal serta berdoa kepada
Allah.
والله
اعلم
[3] Syamsul
Arifin, Menurut Pandangan Islam : Euthanasia Dilarang. Kiblat No.18. Th.
XXVII (februari ke I 1981).h.33.
[4]
John M.Echols dan Hassan
Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet ke. V . Jakarta PT Gramedia, 1978,
h. 219.
[5]
Dr. Muhammad Kartono, Euthanasia,
Kompas, 6 Mei 1989.
[6]
Dr. H. Ali Akbar,
Euthanasia Dilihat Dari Hukum Islam, Panji Masyarakat No. 453, Th. XXVI, 21
Desember 1984, h.69.
[7]
Asy-Syaikh Mahmud
Syaltut, al-Islam Aqidah wa Syari’ah, dar al-Qalam, Mesir, 1966, h.348.
[8]
Asy-Syaikh Muhammad
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, al-Dar al-Kuwaitiyah, cet. VIII.
1986, h. 208.
[9]
Asy-Syaikh Abd Qadir
Audah, as-Tasyri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I Beirut, Dar al-Kitab
al-Arabiyu, h. 441-442.
[10]
Asy-Syaikh al-Syaukani,
Nail al-Authar, Jilid IX, Saudi Arabia, Idarah al-Buhuts al-Islamiyah,h.91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar