HUKUM DONOR DARAH[1]
Kata donor dalam Kamus
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa latin yang artinya menyumbangkan.
Dengan demikian donor darah berarti menyumbangkan darah dari seseorang
kepada orang lain untuk mengobati dan menyelamatkan jiwanya.
Banyak sekali masyarakat yang ragu
atas boleh dan tidaknya donor darah itu karena mereka meyakini bahwa darah itu
hukumnya najis. Apakah darah yang najis itu boleh disumbangkan? Dan apakah
darah seorang muslim boleh disumbangkan untuk menolong jiwa orang nonmuslim
(kafir)? Atau sebaliknya, apakah boleh seorang muslim menerima donor darah dari
orang non muslim?
Para Ulama’ sepakat bahwa darah itu
hukumnya adalah najis. Hal ini sesuai dengan Firman Allah ta’ala dalam
al-Qur’an :
حرمت عليكم الميتةوالدم ...
Artinya : “
Diharamkan bagimu memakan bangkai , darah....”
(Q.S al-Maidah 3).
Maksud ayat ini dijelaskan didalam
Surat al-An’am ayat 145 sebagaimana yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Nawawi
al-Bantani al-Jawiy bahwa yang termasuk najis itu ada dua puluh macam, antara
lain beliau berkata :
السابع عشر : دم .
Artinya
: “ Najis yang ketujuh belas adalah darah[2] “.
Sekalipun darah itu najis, namun
jika keadaan darurat (terpaksa) menyebabkan kita harus mempergunakan darah
untuk mengobati dan menolong jiwa orang yang sedang sakit, maka hukumnya mubah
(boleh), bila tidak ada obat lain yang halal yang dapat menggantikan darah itu.
Asy-Syaikh Hasanin Muhammad Makhluf
(Mantan Mufthi Negara Mesir) telah berfatwa sebagai berikut :
الدم
المسفوح وان كان محرما شرعا بنص القرآن الا ان الضرورة الملجئة الى التداوى به
تبيح الأنتفاع به في العلاج ونقله من شخص لأخرمتى قررذلك طبيب متدين حاذق . وقدذهب جمع من الفقهاء الى جواز التداوى بالحرم
والنجس ...... الخ
Artinya
: “ darah yang mengalir sekalipun hukumnya haram menurut syara’ berdasarkan
nash al-Qur’an, maka jika dalam keadaan sangat terpaksa harus berobat
dengannya, maka hukumnya boleh dalam menggunakannya dalam hal pengobatan dan
menyumbangkannny dari seseorang kepada orang lain, jika hal itu sudah menjadi
ketetapan seorang dokter yang beragama lagi mahir. Segolongan fuqaha
berpendapat , boleh hukumnya berobat dengan benda yang diharamkan dan najis,
jika tidak didapatkan penggantinya dari benda yang tidak diharamkan dan suci.
Dengan demikian, jika seorang dokter muslim yang mahir berpendapat bahwa
selamatnya jiwa seorang yang sedang sakit itu bergantung pada sumbangan darah
dari orang lain, maka hukumnya boleh berobat dengannya menurut syara’. Darurat
itu dapat membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan sebagaimana Firman Allah
Ta’ala dalam Q.S al-Hajj ayat 78[3] “.
Mengenai hal ini , Allah Ta’ala
berfirman :
فمن اضطر غير باغ ولاعاد فلا اثم
عليه
Artinya : “ Maka barangsiapa dalam
ke-adaan terpaksa, ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampui batas, maka
tidak ada dosa baginya “ (Q.S al-Baqarah 173).
Dalam Qaidah Ushul Fiqh disebutkan :
الضرورات تبيح المحظورات
Artinya : “ Darurat itu dapat
membolehkan hal-hal yang tidak dibolehkan[4] “.
Dengan demikian Islam tidak melarang
seorang muslim menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusian, asalkan bukan
untuk tujuan komersial, baik darahnya itu disumbangkan secara langsung kepada
orang yang memerlukan tranfusi darah ataupun diserahkan kepada Palang Merah
Indonesia (PMI) dan Bank Darah.
Penerima sumbangan darah tidak
disyaratkan harus orang yang seagama. Dengan kata lain, boleh saja seorang muslim
menyumbangkan darahnya kepada orang nonmuslim, sebab menyumbangkan darah dengan
ikhlas itu termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan oleh
Islam karena dapat menyelamatkan jiwa manusia. Sesuai dengan firman Allah
Ta’ala dalam al-Qur’an :
ومن احياها فكأنمآاحياالناس جميعا
...
Artinya : “ Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah – olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya “ (Q.S al-Maidah : 32).
Disamping itu, menyumbangkan darah
kepada orang lain yang sangat memerlukannya sekalipun penerima berbeda agama
dengan yang menyumbangkannya, termasuk memuliakan harkat dan martabat manusia.
Hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala dalam al-Qur’an :
ولقد كرمنا بني ادم ...
Artinya : “ dan sesungguhnya telah
Kami muliakan anak-anak Adam “ (Q.S al-Isra’ : 70).
Berdasarkan ayat diatas, maka sudah
seharusnya manusia bisa saling tolong menolong dan saling hormat menghormati
antara sesamanya. Dalam masalah ini yang kita pandang bukan dari segi agama dan
kepercayaan, tetapi segi kemanusiaannya. Begitu juga sebaliknya, boleh hukumnya
seorang muslim menerima sumbangan darah dari orang yang nonmuslim-misalnya
Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain, karena tidak terdapat dalil yang
melarangnya.
Pendapat ini sesuai dengan fatwa
Fuqaha Muta-akhkhirin asy-Syaikh Dr. Ahmad asy-Syarabashi, beliau berkata :
وقد أباح الفقهاء المتأخرون نقل
الدم الى المريض اوالريح اذاتوقف انقاذ حياته على هذاالدم حتى ولو كان الدم منقولا
من غير المسلم
Artinya
: “ para fuqaha muta-akhkhirin sungguh telah membolehkan menyumbangkan darah
kepada orang sakit atau orang yang terluka, jika bisa diselamatkannya hidup
orang tersebut tergantung atas adanya sumbangan darah ini, sekalupun hasil
darahnya itu merupakan sumbangan dari orang yang bukan Islam[5] “.
Adapun yang dijadikan dasar landasan
oleh para Ulama’ Fuqaha atas bolehnya seorang muslim menerima sumbangan darah
dari orang lain sekalipun orang itu bukan beragama Islam, ialah Qaidah Ushul
Fiqh yang berbunyi :
الأصل
في الأشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Artinya : “ hukum asal segala
sesuatu itu dibolehkan, sampai adanya dalil yang menunjukkan atas keharamannya
“.
Pada kenyataannya tidak ada satu
ayat pun dan satu Hadits pun yang secara eksplisit atau dengan nash yang sharih
melarang menerima donor darah dari orang yag bukan beragama Islam. Namun demikian, perlu saya ingatkan
bahwa untuk memporel mashlahat dan menghindari mafsadat (bahaya), baik bagi
penyumbang darah maupun penerima sumbangan darah, tentu saja transfusi darah
itu dilakukan setelah melakukan pemeriksaan yang teliti terhadap kesehatan
kedua-duanya, terutama kesehatan pendonor harus benar-benar bebas dari penyakit
menular, misalnya penyakit AIDS dan lain-lain.
والله أعلم
[1]Makalah ini
disampaikan oleh Al-Faqir Ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah
Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 4 Jumadil Akhir 1435 H bertepatan
tanggal 5 April 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar