Minggu, 23 Maret 2014

TRANSAKSI EKONOMI YANG DIDALAMNYA TERDAPAT UNSUR RIBA



TRANSAKSI EKONOMI
YANG DIDALAMNYA TERDAPAT UNSUR RIBA[1]

            Sistem ekonomi Islam berdiri atas dasar saling tolong – menolong dan saling ridha antara dua orang atau lebih yang bertransaksi. Selain itu didasarkan pula atas perjuangan menghilangkan riba. Islam memandang riba sebagai salah satu dosa besar yang melenyapkan keberkahan dari individu maupun dari masyarakat. Selain itu akan mendatangkkan bencana baik didunia maupun akhirat.

A.    Arti Riba
Menurut bahasa riba berarti “ الزيادة “ (tambahan). Menurut istilah Ulama’ Fiqh mendefenisikannya sebagai berikut :
a.       Ulama’ Hanabilah
الزيادة في اشياء مخصوص  Artinya : “ Pertambahan sesuatu yang dikhususkan”.
b.      Ulama’ Hanafiyah
فصل مال بلا عوض في معاوضة مال بمال  Artinya : “ Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta “.

B.     Dalil Keharaman Riba
a.       Al-Qur’an
وأحل الله البيع وحرم الربوا ( البقرة )
 Artinya : “ Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “ (Q.S Al-Baqarah 275).
ياايهاالذين امنوااتقواالله وذروامابقي من الربواان كنتم
مؤمنين . . . . .الى الأخراية.
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) , maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya” (Q.S Al-Baqarah 278-279).

b.      As-Sunnah
“ Abu Hurairah r.a berkata bahwa Nabi saw bersabda : tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan, sahabat bertanya, apakah itu ya Rasulullah? Jawab Nabi, 1. Syirik (mempersekutukan Allah), 2. Berbuat sihir (tenung), 3. Membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali yang hak, 4. Makan harta riba, 5. Makan harta anak yatim, 6. Melarikan diri dari perang jihad pada saat beerjuang, 7. Menuduh wanita mukminat yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina “. (H.R Buhari).

c.       Ijma’
Seluruh Ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam Islam

C.    Macam-Macam Riba
1.      Jumhur Ulama’ membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi’ah.
a.       Riba Fadhl
        Menurut Ulama’ Hanafiyah ,riba fadhl adalah :
زيادة عين مال في عقد بيع على معيار الشرعى عند اتحاد الجنس
Artinya : “ Tambahan zat harta pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis “.
       Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual beli yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.  Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba[2].

b.      Riba Nasi’ah
        Menurut Ulama’ Hanafiyah, riba nasi’ah adalah
Artinya : “ memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditanggungkan, meberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya[3] “.
           Maksudnya adalah menjual barang dengan sejenisnya, tapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan.

2.      Menurut Ulama’ Syafi’iyyah
Ulama’ Syafi’iyyah membagi riba menjadi tiga jenis.
a.       Riba Fadhl
        Riba fadhl adalah jual beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.

b.      Riba Yad
       Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-Qabdu), yakni bercerai berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima. Seperti menganggap sempurna antara gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima ditempat akad. Menurut Ulama’ Hanafiyah , riba ini termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari hutang.

c.       Riba Nasi’ah
       Riba nasi’ah yakni jual beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.
       Menurut Ulama’ Syafi’iyyah riba yad dan riba nasi’ah sama seperti terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya riba yad mengakhirkan pemegang barang, sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar[4].



D.    Produk Bank Konvensional
            Kegiatan usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana msyarakat maupun dalam penyaluran dana dilakukan melalui produksi jasa keuangan. Hal ini karena produksi jasa keuangan dan bank dapat mempegaruhi peredaran uang dimasyarakat, serta berpengaruh terhadap perekonomian. Oleh karena itu produksi jasa keuangan bank di atur oleh peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegiatan operasional bank, sehingga dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya maupun bagi stabilitas ekonomi sosial. Diantara produk-produk bank, antara lain berikut ini :
-         Simpanan
-         Giro
-         Cek
-         Tabungan
-         Deposito
-         Inkaso dan Kliring
-         Garansi bank
-         Surat yang dapat diperdagangkan
-         Wesel bank
-         Aksep Bank
-         Endosemen
-         Transaksi –transfer
           Mengenai hukum bank konvensional para Ulama’ menjelaskan, diantaranya :
           Pendapat asy-Syaikh Abu Zahrah , Guru besar pada Fakultas Hukum Universitas          al-Azhar (Cairo , Mesir), asy-Syaikh Abul A’la al-Maududi (pakistan), asy-Syaikh Muhammad Abdullah al-Arabi dan lain-lain menyatkaan bahwa bunga bank termasuk riba nasi’ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan darurat atau terpaksa. Para Ulama’ tersebut mengharapkan lahirnya bank Islam yang tida memakai sistem bunga sama sekali.
           Menurut asy-Syaikh Musthafa Ahmad az-Zarqa’, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Universitas Syiria bahwa sistem perbank kan yang kita terima sekarang ini merupakan realitas yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, oleh karena itu umat Islam boleh bermuamalah dengan bank konvensional atas pertimbangan dalam keadaan darurat dan bersifat sementara. Hal ini karena umat Islam harus berusaha mencari jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa sistem bunga untuk meyelamatkan umat Islam dari cengkraman Bank Konvensional.

E.     Orang Yang Bekerja Di Perusahaan Ribawi
            Hukum asal bekerja diperusahaan ribawi adalah haram. Hukum haram ini dapat berubah menjadi boleh apabila keadaan memaksa harus melakukan pekerjaan tersebut tanpa ada alternatif memperoleh pekerjaan yang lain. Hal ini berdasarkan firman Allah dan Qaidah Fiqh :
$yJ¯RÎ) tP§ym ãNà6øn=tæ sptGøŠyJø9$# tP¤$!$#ur zNóss9ur ͍ƒÌYÏø9$# !$tBur ¨@Ïdé& ¾ÏmÎ/ ÎŽötóÏ9 «!$# ( Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî íOŠÏm§ ÇÊÐÌÈ  
             Artinya : “ Barangsiapa dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampau batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “. (Q.S al-Baqarah : 173).
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ  
             Artinya : “ dan jaganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik “. (Q.S al-Baqarah : 195).
اضرورة تبيح المحظورات
               Artinya : “ Keadaan terpaksa membolehkan sesuatu yang dilarang “[5].

F.     Transaksi-Transaksi Ekonomi Yang di Dalamnya Terdapat Unsur Riba
            Dalam transaksi ekonomi yang kita lakukan sehari-harinya, tanpa kita sadari banyak sekali diantaranya yang terdapat unsur riba didalam transaksi tersebut, diantaranya :
a.       Asuransi Keuangan
           Apabila kita melihat bahwa Islam menentang perusahaan asuransi masa kini, dnegan segala bentuk praktek transaksinya, itu tidak berarti bahwa memerangi ide asuransinya sendiri. Sekali-kali tidaklah demikian.ia hanya menentang sistem dan perangkatnya. Adapun jika ada cara lain untuk menjalankan asuransi yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, Islam pasti menyambutnya dengan baik.  Adapun mengenai pembahasan Asuransi Hukum dan Permasalahannya, dapat anda lihat pada tulisan saya melalui Blog saya dengan Alamat : AbdullahQurthubi.Blogspot.com

b.      Penambahan jumlah hutang karena sudah habis tempo (jatuh tempo) untuk membayar hutang.
             Misalnya si A berhutang kepada si B Rp 100.000 dengan tempo pelunasan selama satu bulan. Namun setelah jatuh tempo pelunasan yang dijanjikan selama satu bulan tersebut, ternyata si A belum mampu membayar hutangnya, kemudian si B memberikan perpanjangan waktu selama sebulan lagi kepada si A dengan syarat si A harus membayar sebesar Rp 120.000, maka uang sebesar Rp. 20.000 itu adalah riba.

c.       Meminjam dengan membayar lebih dari jumlah yang dipinjamkan dan lebih dari jumlah yang dipinjamkan (bunganya) sudah disepakati diawal akad.
               Misalnya si A berhutang kepada si B sebesar Rp 100.000, dan ketika akad mereka bersepakat bahwa si A harus mengembalikannya hutangnya kepada si B sebesar Rp 150.000. maka uang sebesar Rp 50.000 itu adalah riba. Atau contoh yang lain, si A meminjam beras kepada si B dengan harga Rp 9.000/kg, namun ketika dikembalikan beras tersebut dengan bera yang harganya Rp 12.000/kg, atau dibayar juga dengan beras yang harganya Rp. 9.000 namun dengan jumlah 1 1,5 kg, maka yang lebihnya itu adalah riba.

d.      Memberikan pinjaman dengan bungan 0% akan tetapi jika terlambat pembayarannya dikenakan denda , maka dendanya itu adalah riba. Ini banyak di praktekkan oleh Bank-Bank Syari’ah.

e.       Memberikan pinjaman Rp. 100.000, akan tetapi uang yang diterima orang yang berhutang hanya berjumlah Rp 80.000, dan orang yang berhutang tetap wajib membayar sejumlah Rp 100.000. potongan Rp 20.000 itu merupakan riba. Ini banyak dipraktekkan oleh Koperasi.

f.        Riba Hutang di Pegadaian.
والله اعلم


[1]Makalah ini disampaikan oleh Al-Faqir Ilallah Sumitra Nurjaya Al-Banjariy Al-Jawiy  pada Majlis Ta’lim Miftahu al-Khair Halaqah Mahasiswa PAI UNIVA Medan pada tanggal 21 Jumadil Awwal 1435 H bertepatan tanggal 22 Maret 2014 di Masjid Nurul Hidayah Jl Garu II A.
[2] Al-Imam Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz II, h. 129.
[3] Asy-Syaikh Alauddin al-Kasani, Bada’i Ash-Shan’i fi Tartib asy-Syara’i, Juz V, h.183.
[4]Al-Imam Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz II, h. 21.
[5] Fatwa MUI Pusat Nomor 1 Tahun 2004 tanggal 24 Januari 2004 yang Memutuskan sebagamana tersebut diatas.